MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Di bawah rimbun pepohonan kampus UIN Alauddin Makassar, Nur Islamiah duduk di pelataran taman sambil mengamati lalu-lalang mahasiswa.
Udara terasa sejuk, dedaunan bergoyang pelan, dan burung kecil kadang hinggap di dahan. Dari luar, UIN memang tampak asri—banyak taman dan ruang terbuka yang memberi jeda dari padatnya jadwal kuliah. Tapi bagi Nur, kesan itu sering kali berhenti di permukaan.
“Iya, saya tahu UIN punya visi jadi green campus,” katanya. “Tapi di keseharian, terasa banget masih jauh. Sampah plastik masih di mana-mana, tempat sampah penuh, dan mahasiswa pun masih buang sembarangan.”
Baca juga: Gaya Hidup Rendah Karbon Tumbuh Perlahan di Makassar
Ia mengaku hampir tak pernah mendengar sosialisasi atau himbauan soal pengurangan plastik dari pihak kampus. Tidak ada kebijakan yang mendorong mahasiswa membawa tumbler sendiri, misalnya, atau program daur ulang yang konsisten.
“Kebijakan itu kayak hidup di atas kertas, tapi tak pernah menyentuh mahasiswa,” ujarnya pelan.
Pengalaman Nur mencerminkan ironi banyak kampus di Indonesia. Visi hijau digaungkan di situs web dan pidato resmi, namun kehilangan relevansi di ruang nyata. Ia pernah mendapati taman-taman kampus kotor, area hijau yang tak terawat, dan tumpukan botol plastik yang tergeletak di bawah bangku taman. Bahkan saat ditanya soal program zero waste, Nur hanya bisa menggeleng.
“Saya bahkan belum tahu seperti apa sebenarnya programnya.”
Meskipun ia memberi nilai 8 dari 10 untuk kesan visual kampus yang hijau, Nur tetap menggarisbawahi bahwa penghijauan tanpa kesadaran dan pengelolaan hanyalah lanskap.
“Kampusnya hijau, iya. Tapi kalau isinya masih penuh sampah, ya percuma,” katanya.
Hijau yang Tidak Menyentuh Akar
Sementara, anggota Mapalasta—unit kegiatan pecinta alam di lingkungan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM)—Imam Abrari menilai sampah plastik masih menjadi masalah mendasar yang belum terselesaikan.
“Kita tahu sampah plastik itu masalah besar di kota. Tapi di UINAM, buang sampah pada tempatnya saja belum tentu menyelesaikan apa-apa,” ujarnya membuka percakapan.
Menurutnya, solusinya bukan soal tempat buang, tapi justru bagaimana memperlakukan limbah tersebut. Menurut Imam, komitmen kampus terhadap prinsip kampus hijau belum menyentuh fondasi persoalan yang sebenarnya. Bahkan, untuk urusan paling dasar seperti pengelolaan sampah, universitas masih tertatih.
Baca juga: Pakaian Bekas di Makassar dan Iklim yang Kian Sesak
“Pembakaran sampah masih jadi praktik biasa. Padahal, seperti kata salah satu dosen Kesehatan Masyarakat saat talkshow kami, pembakaran plastik itu menghasilkan partikel berbahaya yang berdampak ke sistem pernapasan,” katanya.
Mapalasta, bersama Ritma dan Greenpeace Indonesia, pernah menyelenggarakan diskusi publik tentang perubahan iklim di kampus. Imam mengingat diskusi itu sebagai titik kecil dalam upaya membangun kesadaran di UINAM—titik kecil yang belum tumbuh jadi kesadaran kolektif.
“Secara institusi, UINAM belum menyadari bahwa isu iklim adalah masalah krusial,” ujarnya datar.
Imam tidak menampik bahwa pihak universitas seringkali bersikap terbuka terhadap kegiatan lingkungan. Namun, menurutnya, keterbukaan itu berhenti pada kegiatan yang bersifat simbolik dan formalitas.
“Kalau bersih-bersih atau penanaman pohon, mereka datang. Tapi kalau sudah menyentuh kritik terhadap institusi atau pemerintah, langsung terasa batasannya,” ucapnya.
Sambil terkekeh, ia menyentil dinamika gerakan mahasiswa di UINAM. “Isu iklim di kampus ini masih baru. Banyak yang belum paham. Mahasiswa lebih sibuk urus kebijakan rektor. Padahal, kadang kebijakan itu tidak usah dikritik, cukup dilanggar saja,” katanya, diakhiri tawa ringan.
Namun di balik candanya, ada kegelisahan yang nyata. Baginya, penyelamatan lingkungan bukan hanya perkara teknis, tapi politik.
“Sering kali, kampus terlibat dalam gerakan ekologi, tapi tidak menyentuh substansi kerusakan itu sendiri. Kritik terhadap lingkungan, mestinya juga kritik terhadap negara dan industri ekstraktif.”
Imam tahu, itu bukan perkara mudah. Bahkan, melibatkan UINAM secara institusional dalam gerakan anti-industri ekstraktif terdengar nyaris mustahil. Tapi ia tidak berhenti berharap. Setidaknya, ada ruang kecil, tempat diskusi-diskusi kecil terus berlangsung—membicarakan bagaimana menyentuh yang akar, bukan hanya yang tampak hijau di permukaan.
Kampus Hijau yang Masih di Atas Kertas
Bagi Mohamad Yusril, upaya menjadikan Universitas Negeri Makassar sebagai kampus hijau masih jauh dari kata nyata. Ketua Dewan Eksekutif SINTALARAS UNM ini menilai, hambatan utamanya terletak pada kondisi kampus yang terpisah-pisah dan tidak terakomodasi dengan baik.
Baca juga: Eco-anxiety : Anak Muda Makassar dan Kecemasan Iklim
“Fasilitas kurang memadai, TPS hanya ada satu,” ujarnya. Menurut Yusril, meski pihak kampus menyediakan tenaga kebersihan atau yang disebutnya “green job”, kondisi itu tidak serta-merta menunjukkan keseriusan dalam menjalankan prinsip kampus hijau.
Ia juga menyayangkan minimnya perhatian birokrasi terhadap kawasan hutan kampus.
“Hutan kampus tak pernah dibahas birokrasi,” katanya.
Hingga kini, menurutnya, belum ada pergerakan nyata dalam bentuk kebijakan yang mendukung keberlanjutan lingkungan di lingkungan UNM.
Yusril dan rekan-rekannya di SINTALARAS pernah mengadakan sekolah advokasi yang diikuti dengan riset soal pengelolaan sampah di berbagai sektor kampus. Hasilnya mereka loka-karyakan di hadapan pimpinan. Namun, tanggapannya tidak menggembirakan.
“Pimpinan agak cuek soal program kami,” ujarnya.
Menurutnya, tantangan terbesar bukan datang dari luar, melainkan dari sikap birokrasi kampus sendiri yang abai terhadap inisiatif mahasiswa. Soal isu krisis iklim, ia mengatakan tak ada informasi yang mengakomodasi. Yusril menyebutkan bahwa mereka tetap menjalankan program secara mandiri, mengikuti agenda organisasi.
Ia juga mencermati bahwa sejauh ini belum ada satu pun gerakan lingkungan di kampus yang dijadikan sebagai bagian dari pencitraan institusi.
“Soal UNM menuju kampus hijau, nihil,” tegasnya.
Meski begitu, Yusril tetap menyarankan agar pengelolaan limbah sampah diperkuat dengan melibatkan komunitas peduli lingkungan di luar kampus. Menurutnya, solusi semacam itu perlu diupayakan jika kampus benar-benar ingin bergerak menuju sistem pengelolaan yang berkelanjutan.
Hijau di Papan, Sampah di Lapangan
Bagi Abel Putri, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Makassar, wajah hijau kampusnya terlihat, tapi belum sepenuhnya terasa. Komitmen terhadap kebijakan ramah lingkungan memang ada, terutama lewat pelestarian ruang hijau, pengurangan sampah plastik, dan penghematan energi.
“Banyak pepohonan di area kampus,” katanya. Ia juga mencatat adanya papan peringatan soal kebersihan dan larangan membuang sampah sembarangan. Namun, menurut Abel, kebijakan tersebut belum merata di semua fakultas.
Baca juga: Gerakan Dakwah Hijau Makassar di Tengah Krisis Iklim
Di sisi lain, ia kerap melihat ketidakkonsistenan antara slogan dan realitas. “Masih banyak acara menghasilkan sampah plastik,” ujarnya.
Kampus sering menggaungkan semboyan “Kampus Hijau dan Ramah Lingkungan”, tetapi tanpa pengelolaan limbah yang memadai setelah kegiatan besar.
Ketika diminta menilai komitmen kampus terhadap isu lingkungan, Abel memberi angka tujuh dari sepuluh.
“Ruang terbuka dan pepohonan rindang memang ada,” katanya.
Tapi ia menggarisbawahi bahwa kesadaran lingkungan warga kampus belum terbentuk secara menyeluruh.
“Edukasi lingkungan belum menyentuh seluruh lapisan,” katanya. Menurutnya, masih terdapat jarak antara kebijakan tertulis dan praktik nyata yang dijalankan.
Baginya, ironi paling nyata adalah saat kampus mengampanyekan konsep “Green Campus”, namun membiarkan tumpukan sampah pasca acara besar dibiarkan berserakan.
“Itu yang sering saya lihat,” ujarnya singkat.
Retorika Hijau, Realita Kelabu
Pada sore yang teduh di kampus, Presiden Mahasiswa UIN Alauddin Makassar Muh. Zulhamdi Suhafid berdiri di tepi taman belakang perpustakaan. Di tempat itulah mahasiswa kerap berkumpul untuk kajian harian—sebuah oasis kecil di antara bangunan beton dan ruang kuliah yang kian padat.
Baca juga: Kota Makassar di Halaman Depan Krisis Iklim
“Kampus hari ini masih terus komitmen dan konsisten menjaga kampus agar tetap hijau,” ujar Zulhamdi.
Ia menyebut kampus secara berkala menghijaukan taman-taman fakultas, termasuk pekarangan Fakultas Ushuluddin dan taman baca.
Namun, Zulhamdi juga mencatat bahwa dalam hal pengelolaan energi ramah lingkungan, kampus masih belum menerapkan praktik secara modern.
“Persoalan green campus, sejauh yang saya tahu, kampus belum ada praktik pengelolaan energi ramah lingkungan secara modern,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa untuk pengelolaan sampah, kampus dinilai cukup berhasil karena telah menyediakan tempat sampah di berbagai titik. Hasilnya sangat memuaskan karena mahasiswa mudah mengakses tempat sampah, sehingga jarang sekali dilihat sampah berserakan di lingkungan kampus.
Meski demikian, Zulhamdi menyampaikan bahwa masih ada kendala dalam pelaksanaan program lingkungan, terutama pada sisi penyediaan fasilitas.
“Sejauh ini, program lingkungan selalu diberikan atensi yang baik oleh birokrasi. Namun kadang kala birokrasi terkendala di pemberian fasilitas,” ungkapnya.
Terkait komunikasi antara mahasiswa dan pihak kampus, Zulhamdi mengapresiasi adanya ruang bagi aspirasi, namun menilai respons tidak selalu nyata.
“Kampus selalu mendengar suara mahasiswa apapun itu. Tetapi, kadang kala hanya sekedar didengar, tidak ditindaklanjuti sebagaimana harapan mahasiswa,” katanya.
Ia pun menyampaikan pandangan kritis terhadap kampanye lingkungan yang dilakukan kampus. Terlepas dari adanya pencitraan yang dilakukan oleh kampus dalam melakukan gerakan lingkungan, tapi perlu ditekankan bahwa dengan cara itu kampus baru bisa memberikan dampak terhadap lingkungan.
Namun ketika ditanya soal kebijakan resmi, ia mengakui masih minim upaya kelembagaan dari pimpinan kampus.
“Sejauh ini terkait kebijakan lingkungan belum pernah dikeluarkan langsung oleh pimpinan kampus, baik itu melalui surat edaran, maupun surat keputusan ataupun surat instruksi rektor,” katanya.
Zulhamdi juga mengungkapkan bahwa wacana akademik terkait isu lingkungan masih jarang terdengar.
“Jarang sekali saya dapati kampus mengadakan diskusi tentang lingkungan. Jadi saya anggap belum bisa memberikan argumen yang banyak,” ucapnya.
Ia menutup dengan catatan reflektif bahwa ia belum melihat birokrasi kampus betul-betul mengedepankan isu lingkungan di lingkaran kampus.
Tumbler Dibawa, Air Isi Ulang Kosong
Di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin, ajakan untuk membawa tumbler sendiri sudah menjadi hal lumrah. Tapi bagi Misna Askah, mahasiswa program studi Kesehatan Masyarakat, kebijakan itu belum didukung praktik yang konsisten.
“Ada tempat refill air minum di beberapa tempat,” ujarnya.
Namun, fasilitas tersebut kerap tak berfungsi atau kosong. Akibatnya, mahasiswa tetap memilih air kemasan karena lebih praktis.
“Tempat isi ulang sering kosong atau tak berfungsi,” katanya.
Menurut Misna, kesadaran lingkungan memang cukup sering dibahas di kelas maupun kegiatan kampus. Tapi, pelaksanaannya tidak selalu mencerminkan semangat yang digaungkan.
“Masih banyak acara pakai plastik sekali pakai,” katanya.
Ia menilai, tempat refill yang ada belum menunjang kebijakan pengurangan sampah plastik secara efektif.
“Kalau sering kosong, ya percuma ji juga,” ujarnya.
Ketika diminta menilai komitmen kampus terhadap isu lingkungan, Misna memberi nilai lima dari sepuluh. Ia mengakui, secara fisik, kampus terlihat cukup hijau dan teduh.
“Ada taman dan pohon-pohonnya yang bikin sejuk,” katanya. Tapi perilaku ramah lingkungan warga kampus belum terbentuk secara menyeluruh.
“Tempat sampah belum maksimal dipilah,” katanya.
Budaya membawa tumbler pun belum menjadi kebiasaan bersama. Ia menyebut usaha kampus memang ada, namun belum konsisten.
Misna menyebutkan, ironi terbesar justru muncul dari institusi yang paling sering bicara soal lingkungan.
“FKM bicara soal lingkungan hampir di setiap saat,” katanya. Tapi, menurutnya, praktik di lapangan belum mendukung.
“Kesannya FKM paham, tapi belum serius,” ujarnya.
Janji Hijau di Kampus Asri
Di bawah rindangnya pepohonan kampus UIN Alauddin Makassar, komitmen terhadap isu perubahan iklim mulai tumbuh perlahan. Namun, di balik keasrian visual itu, upaya sistemik masih berjalan tertatih.
Salman, Kepala Bagian Umum kampus ini, menjelaskan bahwa komitmen terhadap isu lingkungan sebenarnya sudah lama ditanamkan.
“Bentuk konkrit komitmen UIN Alauddin Makassar terhadap isu perubahan iklim diwujudkan secara bertahap melalui integrasi prinsip keberlanjutan dalam tata kelola kampus,” katanya.
Hal ini, menurutnya, terlihat pada upaya penghijauan lingkungan dan efisiensi penggunaan energi. Tapi ia pun sadar, persoalan iklim tidak cukup diselesaikan dengan penanaman pohon.
“Kami memandang perubahan iklim sebagai isu lintas sektor yang memerlukan pendekatan adaptif dan kolaboratif.”
Namun, permasalahan muncul saat bicara anggaran. Salman menyebut bahwa program lingkungan belum memiliki alokasi dana tersendiri.
“Seperti di beberapa tempat yang lain, alokasi anggaran untuk program lingkungan tidak ditempatkan dalam pos tersendiri, melainkan terintegrasi dalam berbagai program pemeliharaan, pengembangan sarana, kegiatan kemahasiswaan, serta kerja sama eksternal.”
Karena itulah, ujarnya, besar kecilnya anggaran lingkungan bergantung pada arah prioritas tiap tahun. Ia menyebut presentasinya bersifat dinamis dan bergantung pada pendekatan programatik tahunan yang menyesuaikan dengan prioritas dan kapasitas anggaran yang ada.
Salah satu target jangka menengah yang belum tercapai adalah penghitungan jejak karbon kampus. Salman tidak menampik bahwa hingga kini belum ada data kuantitatif yang dikumpulkan secara sistematis.
“Secara formal belum. Tapi hal itu menjadi bagian dari agenda jangka menengah. Saat ini sedang berfokus kepada pembenahan sistem data dasar dan infrastruktur pendukung yang menjadi prasyarat sebelum dimulainya proses kuantifikasi jejak karbon secara komprehensif.”
Meski begitu, beberapa langkah sudah diambil. Salah satunya dengan memprioritaskan efisiensi energi dalam setiap proyek infrastruktur baru.
“Kebijakan yang ada, lebih bersifat konsisten daripada sporadis,” ujarnya.
Renovasi gedung maupun pembangunan baru mulai diarahkan untuk lebih hemat energi. Implementasinya diawasi melalui mekanisme koordinasi lintas unit yang ada. Peran mahasiswa juga disebutnya penting.
“Mahasiswa merupakan mitra strategis dalam pelaksanaan dan penguatan kesadaran lingkungan.”
Meski belum diformalkan dalam perumusan kebijakan, partisipasi mereka dalam kegiatan dan advokasi lingkungan diakui telah mempengaruhi arah institusi. Namun Salman mengakui, tak semua kritik bisa langsung dijawab.
“Sebagian keluhan telah kami respons secara teknis, sebagian lain membutuhkan waktu dan juga anggaran serta keterlibatan lintas pihak.”
Ia menambahkan, dalam situasi sumber daya yang terbatas, pencapaian target memang belum bisa merata. Namun menurutnya, langkah kampus tetap progresif. Pendekatan bersifat progresif dan terbuka untuk evaluasi.
“Beberapa aspek teknis mengalami penyesuaian jadwal, tetapi semangatnya tetap ada dalam kerangka berkelanjutan,”ujarnya.
Hingga kini, UIN belum tergabung secara formal dalam jaringan kampus hijau global atau penilaian serupa.
“Masih dalam tahap menyiapkan infrastruktur data dan dokumentasi pendukung yang diperlukan,” kata Salman.
Tapi ia menegaskan, prosesnya sedang berjalan dan akan menjadi bagian dari peningkatan kualitas kampus secara kelembagaan.
Transportasi Hijau dan Kesenjangan Komitmen Kampus
Penelitian Ketua Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) UIN Alauddin Makassar, Ir. Iyan Awaluddin tentang pengembangan transportasi ramah lingkungan di UIN Alauddin Makassar menjadi salah satu kontribusi penting dalam memetakan pola pergerakan civitas akademika dan dampaknya terhadap jejak karbon kampus. Dari hasil penelitiannya, ia menyampaikan beberapa rekomendasi kebijakan internal kepada pihak pimpinan kampus pada tahun 2022.
Baca juga: Makassar Memanas, Iklim Memburuk, Ruang Teduh Menyempit
Salah satu rekomendasinya mencakup pengembangan jalur pejalan kaki yang artistik dan ramah terhadap disabilitas. Ia juga menyarankan pengurangan penggunaan kendaraan pribadi melalui program “Nebeng Ka” berupa aksi 2 in 1 yang dapat dilaksanakan seminggu sekali atau rutin setiap hari.
Kebijakan ini mengharuskan setiap kendaraan yang masuk ke dalam kampus ditumpangi minimal dua orang dalam satu kendaraan. Selain itu, ia mendorong pemanfaatan moda kendaraan bebas emisi, termasuk penyediaan jalur dan parkir sepeda serta implementasi campus shuttle berbasis kendaraan listrik.
“Riset ini juga telah digunakan sebagai materi diskusi dalam seminar dan kegiatan Green Campus tingkat nasional sehingga meningkatkan literasi lingkungan di kalangan mahasiswa dan dosen,” kata Iyan.
Namun, ia menyoroti adanya ketimpangan antara gagasan dan pelaksanaan. “Inilah mungkin yang saya istilahkan sebagai kesenjangan implementasi, di mana menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara wacana keberlanjutan dan komitmen konkret dalam anggaran, perencanaan infrastruktur, serta disiplin harian warga kampus. Terkadang secara wacana akademik begitu mendewakan soal keberlanjutan lingkungan, apalagi penelitian saya ini juga didasarkan dari Panca Cita Bapak Rektor yaitu Panca Cita Rektor di bidang non akademik yaitu menciptakan UIN Alauddin sebagai kampus yang asri.”
Di tingkat akademik, Iyan menjelaskan bahwa kurikulum di Program Studi Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota memiliki muatan yang kuat dalam isu keberlanjutan dan perubahan iklim. Ia menyebutkan beberapa mata kuliah seperti Studio Perencanaan Transportasi, Manajemen Transportasi, Pengetahuan Lingkungan dan Analisis Dampak Lingkungan, serta Perencanaan Prasarana Wilayah dan Kota yang secara teoretis membahas solusi atas krisis iklim.
Meski begitu, penerapannya dinilai masih kurang kontekstual. Mahasiswa didorong melakukan studi lapangan di lingkungan kampus, namun belum semua diarahkan untuk menghasilkan solusi aplikatif terhadap masalah nyata kampus seperti ketersediaan ruang parkir, kemacetan, atau ketergantungan pada kendaraan bermotor.
Menurutnya, masih terdapat jarak antara konten kurikulum dengan keterlibatan mahasiswa dalam kebijakan operasional kampus, seperti pengelolaan transportasi, pengurangan sampah, atau efisiensi energi.
“Dalam riset saya, saya mengusulkan agar kurikulum didorong lebih transformatif — tidak hanya menghasilkan pemahaman konseptual, tetapi juga intervensi nyata di lingkungan kampus sebagai laboratorium hidup (living lab).”
Ia juga menyoroti lemahnya kesadaran kolektif civitas kampus terhadap isu lingkungan. Menurutnya, upaya edukatif memang sudah ada, tetapi belum secara sistemik membentuk kesadaran kolektif bagi civitas kampus.
“Mahasiswa dan dosen umumnya masih melihat isu lingkungan sebagai tanggung jawab birokrasi, bukan sebagai praktik keseharian mereka,” tuturnya.
Dengan kata lain, katanya, pendekatan yang diambil cenderung simbolik dan sesekali. Ia menilai hal itu belum membentuk nilai-nilai ekologis sebagai etos hidup bersama dalam ruang kampus.
Menurutnya, kebijakan kampus hijau di UIN Alauddin Makassar (dan kampus lain) masih lebih banyak bersifat proyek-program jangka pendek ketimbang upaya pembentukan budaya ekologis jangka panjang.
“Pak Rektor selaku pimpinan teratas sudah memperlihatkan komitmen untuk itu, namun harus diikuti oleh semua warga kampus agar bisa berdampak sistemik dan jangka panjang, tidak hanya simbolistik,” tuturnya.
Iyan juga mengaku pernah menyampaikan konsep transportasi ramah lingkungan ini kepada pihak kampus. (Andi/IN)