back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
26.4 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

ChatGPT dan AI: Menggali Jejak Karbon di Balik Kecanggihan

Inspirasinusantara.id -- Di balik satu pertanyaan yang kita ketik ke ChatGPT, tersembunyi aliran listrik dan tetesan air yang bekerja diam-diam. Teknologi ini memang mengagumkan,...
BerandaBudayaKearifan Lokal Sulsel yang Tetap Lestari di Watang Bacukiki, Parepare

Kearifan Lokal Sulsel yang Tetap Lestari di Watang Bacukiki, Parepare

INSPIRASI NUSANTARA–Kearifan lokal Sulsel terus hidup dalam tradisi ziarah di Buluroangnge, Watang Bacukiki, Parepare. Setiap akhir Januari, komunitas Tau Lotang berkumpul di puncak bukit untuk melakukan ritual suci sebagai bentuk penghormatan kepada To Manurung, sosok yang diyakini sebagai leluhur pertama wilayah Bacukiki.

Watang Bacukiki, salah satu wilayah di Kota Parepare, Sulawesi Selatan, memiliki kekayaan budaya yang masih lestari hingga kini. Salah satu kearifan lokal Sulsel yang terus dipertahankan hingga kini adalah ritual ziarah ke puncak Bukit Buluroangnge yang dilakukan oleh komunitas Tau Lotang.

Tradisi ini bukan sekadar perjalanan spiritual, tetapi juga menjadi bagian dari sejarah dan identitas masyarakat setempat. Setiap akhir Januari, masyarakat Tau Lotang berkumpul di Buluroangnge untuk melaksanakan ibadah puncak.

Dilansir dari Repositori IAIN Pare-Pare, Ritual ini diyakini sebagai bentuk penghormatan kepada To Manurung, sosok pertama yang dipercaya turun ke bumi dan menjadi awal lahirnya kerajaan Bacukiki. Dalam tradisi ini, para peziarah membawa sesajian sebagai simbol penghormatan kepada Dewata Sewae (Tuhan Yang Maha Esa).

Ritual ini juga menjadi momen bagi masyarakat untuk berdoa agar diberikan berkah, keselamatan, dan kemakmuran dalam kehidupan mereka.

Tradisi Pertanian dan Keterkaitan dengan Ritual Ziarah

Selain berziarah, masyarakat Watang Bacukiki juga memiliki tradisi unik dalam menentukan waktu tanam, yang disebut tudang loang loma. Ritual ini dilakukan dengan berkumpul di sebuah tempat luas untuk bermusyawarah menentukan jadwal bercocok tanam yang tepat.

Ritual pertanian ini juga berkaitan erat dengan kepercayaan kepada To Manurung. Sebelum turun ke sawah untuk memulai musim tanam, masyarakat terlebih dahulu naik ke Buluroangnge untuk berdoa dan meminta restu.

Setelah itu, mereka melanjutkan dengan ritual mappalili, yakni tanda dimulainya musim tanam, yang dilakukan dengan cara menunggu sapi buang air seni di tengah sawah. Tempat jatuhnya air seni itu kemudian ditandai sebagai titik awal penanaman benih padi.

Setelah masa panen tiba, masyarakat kembali menggelar ritual mappadendang, sebuah pesta panen yang penuh dengan simbol budaya. Dalam acara ini, masyarakat membawa sokko (nasi ketan) berwarna hitam, merah, kuning, dan putih, yang melambangkan elemen dasar kehidupan dan falsafah Sulapa Eppa dalam budaya Bugis.

Pelestarian Tradisi di Tengah Modernisasi

Meski zaman terus berkembang, masyarakat Watang Bacukiki tetap menjaga dan melestarikan tradisi ini sebagai bagian dari identitas budaya mereka. Ritual ziarah ke Buluroangnge dan rangkaian tradisi pertanian yang menyertainya menjadi bukti bagaimana kearifan lokal terus hidup dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Pemerintah daerah dan komunitas budaya pun terus berupaya menjaga kelangsungan tradisi ini agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Parepare. Dengan demikian, ritual ziarah di Buluroangnge tidak hanya menjadi ajang spiritual, tetapi juga sarana memperkuat ikatan sosial dan menjaga warisan leluhur yang berharga. (*/IN)

Sumber: Repositori IAIN Parepare, Ritual “To Lotang” sebagai Aset Budaya Lokal dalam Membangun Nilai-Nilai Kepercayaan Masyarakat Watang Bacukiki, Kota Parepare, oleh Hj. St. Aminah, Firman (2016), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Parepare.