INSPIRASI NUSANTARA–I La Galigo bukan sekadar cerita rakyat, melainkan warisan sastra epik Bugis yang melampaui waktu dan peradaban. Dikenal sebagai salah satu karya sastra terpanjang di dunia, naskah ini menyimpan kisah penuh cinta antara dua saudara yang tidak ditakdirkan untuk bersama.
I La Galigo bukan sekadar kisah cinta biasa, Ia adalah warisan budaya Sulawesi Selatan yang telah bertahan selama berabad-abad. Ditulis dalam bentuk puisi tradisional Bugis atau Lontara, karya ini awalnya disampaikan secara lisan dan baru mulai dituliskan pada abad ke-19.
Naskah kuno ini lebih panjang dari Mahabharata dan Ramayana, serta dianggap sebagai salah satu warisan budaya Bugis yang paling berharga. Di dalamnya, tersimpan kisah penuh cinta, pengorbanan, dan takdir yang menjerat tokoh-tokohnya dalam jalan cerita yang dramatis.
Salah satu bagian paling terkenal dari La Galigo adalah kisah cinta terlarang antara Sawerigading dan We Tenriabeng, saudara kembar yang dipisahkan sejak lahir.
Sawerigading & We Tenriabeng: Cinta yang Tak Bisa Bersatu
Sawerigading dan We Tenriabeng adalah keturunan Batara Guru, yang dibesarkan secara terpisah. Saat mereka bertemu kembali di usia dewasa, Sawerigading jatuh cinta pada saudari kembarnya sendiri.
Perasaan ini menjadi duka yang mendalam karena adat dan kepercayaan Bugis melarang pernikahan sesama saudara, sebab diyakini dapat mendatangkan bencana besar bagi keluarga dan negeri mereka.
Untuk mencegah bencana tersebut, We Tenriabeng memberikan petunjuk kepada Sawerigading bahwa di Negeri Cina bukan Tiongkok, melainkan sebuah daerah di Tanete, Bone, Sulawesi Selatan terdapat seorang wanita yang sangat mirip dengannya. Sebagai bukti, ia memberikan sehelai rambut, gelang, dan cincin kepada Sawerigading.
Ia pun bersumpah bahwa jika kata-katanya tidak terbukti benar, maka ia bersedia menikah dengannya. Dengan hati yang berat, Sawerigading akhirnya menerima kenyataan dan berlayar ke Negeri Cina, di mana ia kemudian menemukan sepupu mereka, yang akhirnya menjadi pendamping hidupnya.
Kisah mereka menjadi salah satu bagian paling berkesan dalam I La Galigo, mengajarkan bahwa cinta tidak selalu bisa diwujudkan dalam pernikahan, tetapi bisa tetap abadi dalam pengorbanan dan kenangan.
Pelajaran dari Kisah Sawerigading & We Tenriabeng
1. Cinta Tidak Selalu Harus Memiliki
Kisah ini mengajarkan bahwa dalam hidup, tidak semua cinta dapat diwujudkan dalam hubungan yang diinginkan. Terkadang, pengorbanan dan menerima takdir menjadi cara terbaik untuk menjaga keseimbangan hidup.
2. Menghormati Adat dan Norma Sosial
Dalam tradisi Bugis, aturan adat sangat dijunjung tinggi. Larangan menikah dengan saudara kandung bukan sekadar aturan, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap harmoni kehidupan dan kepercayaan masyarakat.
3. Menemukan Makna Cinta yang Lebih Luas
Sawerigading akhirnya menemukan cinta sejatinya bukan dalam hubungan yang ia impikan, tetapi dalam perjalanan mencari jati diri dan memahami bahwa cinta juga bisa berarti melepaskan demi kebaikan bersama.
4. Warisan Budaya yang Harus Dijaga
Seiring perkembangan zaman, pemahaman tentang La Galigo semakin memudar di kalangan generasi muda. Pelestarian sastra ini penting agar nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tetap dapat diwariskan dan menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.
La Galigo: Antara Legenda dan Sejarah
Kisah cinta Sawerigading dan We Tenriabeng adalah bagian dari epik La Galigo, yang diakui oleh UNESCO sebagai warisan dunia. Naskah ini diyakini berasal dari sebelum abad ke-14 dan ditulis dalam aksara Lontara.
Sayangnya, banyak generasi muda yang tidak lagi memahami aksara tersebut, sehingga risiko kehilangan salah satu warisan sastra terbesar dunia semakin nyata.
Melalui kisah ini, kita tidak hanya mengenang legenda yang indah, tetapi juga diingatkan akan pentingnya menjaga warisan budaya agar tetap hidup dan bermakna bagi generasi mendatang. (fit/in)