MAKASAR, Inspirasinusantara.id — Blok D3 Kompleks Nusa Harapan Permai, Makassar, Muhammad Rizal Halim (52) menatap langit pagi yang tak lagi asing baginya.
Namun ada yang berubah—dan ia merasakannya bukan dari teori, melainkan dari kulitnya sendiri.
Dulu, ia mengenang, pagi hari di kota ini datang bersama gigil. Udara menusuk, langit masih gelap hingga hampir pukul enam.
Baca juga: Makassar dan Krisis Iklim dari Rumah Tangga
Kini, jam lima subuh pun langit sudah terang, dan angin pagi datang bukan membawa dingin, tapi rasa hangat yang mendekati gerah.
Baca juga: Pakaian Bekas di Makassar dan Iklim yang Kian Sesak
Sebagai dosen, Rizal tak mencatat suhu harian. Namun tubuhnya hafal betul perbedaan ini.
Ia mengingat masa ketika musim masih bisa ditebak, hujan datang dalam periode tertentu, dan kemarau berjalan dengan logika yang ajek.
“Sekarang,” katanya pendek, “semua berubah.”
Aktivitas sehari-harinya tak lagi berjalan normal. Ketika cuaca tak menentu, perencanaan jadi berantakan.
Ia mengaku sulit menyesuaikan diri, bukan karena malas, tapi karena tubuh dan alam seperti bicara dalam bahasa yang berbeda.
Bahkan hewan, tumbuhan, dan manusia, menurutnya, kini terpaksa belajar ulang tentang siklus hidup.
“Ini pasti akan berpengaruh dengan kebiasaan hidup kita dengan kondisi cuaca panas yang ekstrem,” tuturnya.
Dulu, Pagi Masih Bisa Dipercaya
Andi Makkarodda, 53 tahun, tinggal di daerah yang masih menyisakan ruang hijau. Ia terbiasa berjalan kaki ke pasar atau warung saat pagi.
Dulu, jaket tipis adalah pakaian wajib subuh-subuh. Udara begitu segar, jalanan masih basah oleh embun. Kini, belum pukul delapan pagi, panas sudah menyengat.

“Saya tahan keluar rumah kalau sudah lewat jam sembilan,” ujarnya.
Siang hari semakin menyiksa. Malam pun tak memberikan banyak kelegaan. Ia menyebut salat Jumat sekarang terasa lebih berat, bukan karena beban batin, tapi karena suhu di dalam masjid yang tak lagi sejuk.
“Masjid panas,” katanya.
Ia juga mencatat pergeseran di halaman rumahnya. Tanaman-tanaman hias yang dulu subur, kini sering layu lebih cepat.
Bunga kamboja dan melati, yang dulu mudah ditemui di pekarangan rumah tetangga, kini jarang tumbuh. Burung-burung kecil yang biasa bertengger di dahan tiap pagi juga menghilang.
“Dulu ramai kicauan, sekarang sepi,” ucapnya.
Ia mengaku sempat mengira isu perubahan iklim hanya isapan jempol dari negeri jauh. Tapi kini, ia tidak lagi ragu.
“Kami di sini merasakan betul.”
Ritme Alam yang Bergeser di Halaman Sendiri
Di kawasan Panakkukang, Novianti mengamati dunia dari halaman rumahnya. Setiap pagi, ia menyiram tanaman lombok yang tak lagi subur.
“Sekarang susah berbuah,” katanya. Tanah cepat kering, daun cepat menguning. Ia harus menyiram dua kali sehari. Dulu, cukup sore hari saja.
Perubahan terasa bahkan sejak subuh. Langit yang dulu gelap hingga hampir pukul enam, kini sudah terang benderang sejak pukul lima. Embun pagi lenyap. Udara yang dulu membawa sejuk, kini membawa panas bahkan sebelum matahari naik tinggi.
“Jam sembilan sudah panas seperti jam dua belas,” tuturnya.
Bukan hanya tanaman yang berubah. Waktu yang tersedia untuk bekerja di luar rumah kini terasa makin sempit.
Aktivitas pagi jadi tergesa, dan sore hari dihabiskan di balik dinding karena udara yang masih menyengat. Bagi Novianti, perubahan ini bukan lagi cerita dari berita nasional.
“Ini nyata, bukan hoaks,” katanya. Ia menyebut banyak tetangga mulai sering sakit karena cuaca tak menentu.
Makassar yang Tak Lagi Sama
Rasyid Daeng Ngalle sudah setengah abad lebih hidup di Makassar. Ia lahir di Topejawa, pesisir Takalar, dan kini bekerja sebagai juru parkir di pelataran Masjid Raya Makassar.
Dari tempatnya berdiri setiap hari, ia menyaksikan perubahan itu tanpa perlu membaca data cuaca.
Dulu, malam hari di kota ini cukup membuat orang menarik selimut. Sekarang, kipas angin bekerja nyaris sepanjang malam.
“Biar malam, panasmi,” katanya.
Cuaca, menurutnya, dulu bisa ditebak. Hujan dan kemarau datang pada waktunya. Kini, yang datang justru ketidakpastian.
“Dikira kemarau, malah hujan deras,” ucapnya.
Bagi Rasyid, perubahan itu terasa di kulit, tapi juga di jadwal hidup. Tak ada lagi jaminan pagi akan sejuk. Tak ada kepastian bahwa hujan datang setelah awan pekat menggantung.
Ia menyebut dirinya sering keliru membaca langit—pengalaman tak lagi cukup untuk memahami cuaca.
Menelusuri Jejak Krisis Iklim dari Balik Angka BMKG
Data BMKG Wilayah IV Makassar menunjukkan bahwa tahun 2024 adalah salah satu tahun terpanas dalam sejarah pencatatan iklim di Sulawesi Selatan.
“Anomali suhu tahun ini tinggi sekali,” kata Ketua Tim Klimatologi BMKG Wilayah IV Makassar, Mufliha, saat ditemui di kantornya, beberapa hari lalu.
“Bahkan ada wilayah yang kenaikannya sampai 0,9 derajat Celsius. Kalau di Sulawesi Selatan atau Makassar sendiri, anomali suhu sepanjang tahun mencapai rata-rata 0,7 derajat.”
Sekilas, angka itu tampak kecil. Namun bagi dunia meteorologi, lonjakan suhu sebesar 0,7 derajat bukan hal sepele.
Rizky Yuda, Ketua Bidang Meteorologi di instansi yang sama, mengingatkan bahwa dalam konteks suhu, “nol koma itu sudah besar.”
Dalam sains iklim, BMKG menggunakan periode rata-rata selama 30 tahun—dari 1991 hingga 2020—untuk menilai normalitas suhu. Dari sanalah mereka mendeteksi “anomali” kondisi ekstrem yang menyimpang dari rata-rata.
Tren yang Tak Lagi Sembunyi
Tren pemanasan ini tidak terjadi tiba-tiba. Mufliha menyebutkan bahwa data suhu diperbarui hampir tiap bulan dan memperlihatkan kecenderungan yang jelas. Suhu minimum dan maksimum perlahan namun konsisten naik.
“Meskipun belum signifikan dalam hitungan tahunan,” katanya, “tapi trennya terus naik.”
Apa yang menyebabkan ini? Jawabannya kembali pada akar global — krisis iklim dan pemanasan global.
Rizky Yuda menjelaskan bahwa sejak era revolusi industri, konsentrasi gas-gas rumah kaca terus meningkat—karbon dioksida, metana, dan sejenisnya.
“Penumpukan gas ini menyebabkan bumi makin panas,” ujarnya.
“Efeknya luas, mulai dari es di kutub mencair, permukaan laut naik, hingga musim yang tak lagi bisa diprediksi.”
Sulawesi di Pusaran El Nino dan La Nina
Tak hanya suhu, fenomena cuaca ekstrem juga kian kerap terjadi. Fluktuasi El Nino dan La Nina makin sering, bahkan cenderung tak memberi jeda.
“Sejak 2020 hingga 2022 kita dihantam La Nina berturut-turut,” kata Mufliha.
“ 2023 El Nina lalu 2024 kembali lagi La Nina. Sekarang menuju kondisi netral tapi trennya menunjukkan frekuensinya makin rapat.”
Fenomena ini menjadi salah satu indikator bahwa iklim sedang berubah drastis. El Nino biasanya membawa kekeringan, sementara La Nina memicu curah hujan ekstrem dan banjir.
Ketika keduanya terjadi lebih sering dari biasanya, masyarakat Sulawesi Selatan, termasuk Makassar, harus bersiap menghadapi siklus bencana yang lebih intens.
Dampak yang Menjalar ke Segala Aspek
Bagi banyak orang, perubahan iklim terdengar seperti isu jauh dan global. Namun Rizky Yuda menegaskan bahwa dampaknya sangat lokal dan nyata. Salah satunya adalah meningkatnya intensitas bencana hidrometeorologi.
“Banjir, kekeringan, badai, kebakaran hutan, dan longsor—itu semua bagian dari bencana hidrometeorologi,” katanya.
“Frekuensinya meningkat karena krisis iklim.”
Akibatnya, beban negara pun bertambah. Anggaran yang seharusnya bisa dialokasikan ke sektor produktif seperti pendidikan atau kesehatan kini harus tersedot untuk penanggulangan bencana dan rehabilitasi pasca-krisis.
Menuju Titik Batas: 1,5 Derajat Celsius
Dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB, IPCC—panel ilmuwan global yang mengkaji perubahan iklim—telah menetapkan ambang batas berbahaya yakni 1,5 derajat Celsius.
Jika suhu global meningkat melebihi angka itu, bencana akan makin sulit dikendalikan. Batas itu bukan sekadar imbauan teknis, tapi garis hidup bagi kota-kota pesisir seperti Makassar.
“Kalau dibiarkan, suhu bisa terus naik,” kata Mufliha.
“Dan kalau sudah lewat 1,5 derajat, kita tidak tahu lagi dampaknya akan seperti apa.”
Makassar, sebagai kota pesisir yang berkembang pesat, menghadapi risiko ganda. Selain suhu yang naik, permukaan air laut juga meningkat.
Kawasan pesisir seperti Kecamatan Ujung Tanah dan Tamalate kerap terendam saat pasang tinggi. Ketika curah hujan ekstrem datang bersamaan, air tak lagi tahu ke mana harus mengalir. (Andi/IN)



