Budaya  

Mappateseng: Inspirasi Model Bisnis dari Kearifan Lokal Sulawesi Selatan 

Mappateseng: Inspirasi Model Bisnis dari Kearifan Lokal Sulawesi Selatan 
ILUSTRASI. Mappateseng: Inspirasi Model Bisnis dari Kearifan Lokal Sulawesi Selatan. (foto:istimewa)

INSPIRASI NUSANTARA – Mappateseng merupakan salah satu bentuk kearifan lokal di Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Bone, yang diterapkan dalam kegiatan sehari-hari masyarakat, terutama dalam pemeliharaan ternak sapi. Tradisi ini berlandaskan prinsip risk sharing dan profit sharing, yang mencerminkan semangat kebersamaan dan solidaritas sosial masyarakat Bugis.

Dalam praktiknya, mappateseng menggambarkan kerja sama antara pemilik modal dan peternak sapi. Pemilik modal menyediakan sapi dan modal awal untuk pembelian pakan serta obat-obatan, sementara peternak bertanggung jawab atas perawatan harian, seperti memberi makan, membersihkan kandang, dan memastikan kesehatan ternak.

“Keuntungan dari hasil penjualan sapi dibagi berdasarkan kesepakatan awal antara pemilik modal dan peternak, setelah semua biaya operasional diperhitungkan,” ungkap Marlia Rianti, Dosen Universitas Muhammadiyah Bone sekaligus peneliti dalam bidang agribisnis, dikutip dari laman Bone.go.id.

Model Bisnis dan Solidaritas Sosial

Tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai strategi ekonomi, tetapi juga mengedepankan keadilan sosial. Dengan sistem risk sharing, risiko kegagalan usaha ditanggung bersama sehingga tekanan finansial tidak hanya dirasakan oleh satu pihak. Pola ini juga menjadi solusi untuk mengurangi ketimpangan ekonomi dalam masyarakat.

Selain itu, mappateseng turut mendukung pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Pengetahuan lokal tentang pakan ternak dan metode tradisional diintegrasikan ke dalam sistem ini, sehingga menjaga keseimbangan ekosistem sekaligus memastikan ketersediaan pakan sapi.

Kesejahteraan Hewan dan Keberlanjutan Tradisi

Praktik mappateseng juga menjamin kesejahteraan hewan. Dengan perawatan harian yang baik, sapi menjadi lebih sehat dan produktif dibandingkan ternak yang dikelola secara massal. Tradisi yang telah diwariskan turun-temurun ini menjadi simbol kearifan lokal yang terus relevan meski di tengah modernisasi.

Namun, keberlanjutan tradisi ini menghadapi tantangan dari arus urbanisasi dan perubahan ekonomi. Marlia menekankan pentingnya pengembangan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan manajemen usaha peternakan berbasis mappateseng.

Dukungan Kebijakan Publik

Tradisi mappateseng dapat menjadi inspirasi dalam pengembangan kebijakan publik yang mendukung pertanian berkelanjutan. Pengakuan dan dukungan dari pemerintah serta lembaga terkait akan membantu mempertahankan tradisi ini sekaligus meningkatkan manfaatnya bagi masyarakat peternak.

“Mappateseng tidak hanya menjadi model pengelolaan usaha ternak yang efektif, tetapi juga warisan budaya yang harus dilestarikan demi keberlanjutan ekonomi dan lingkungan,” tutup Marlia.

Tradisi ini membuktikan bahwa nilai-nilai lokal dapat memberikan solusi untuk tantangan modern, sekaligus menjaga harmoni antara manusia, hewan, dan lingkungan. (*/IN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *