Pakai Branded Biar Diakui?

BRANDED. Tren fesyen yang saat ini jadi buruan.

INSPIRASI NUSANTARA — Fesyen bukan lagi sekadar tentang pakaian, tetapi telah menjadi alat untuk menunjukkan siapa kita di mata orang lain. Merek-merek seperti Gucci, Louis Vuitton, Hugo Boss, Tommy Hilfiger, dan Balenciaga kini bukan hanya menawarkan barang, tetapi juga status sosial yang melekat pada setiap produknya.

Di banyak lingkungan, seseorang yang mengenakan pakaian atau aksesori dari merek terkenal akan lebih dihargai dibandingkan mereka yang memakai produk non-branded. Padahal, jika diperhatikan lebih dalam, perbedaan kualitasnya tidak selalu signifikan, tetapi logo dan citra eksklusif yang membuat barang tersebut lebih diinginkan.

Fenomena ini bisa dilihat di mana-mana, dari kafe hingga pusat perbelanjaan, bahkan di media sosial. Orang-orang berlomba-lomba mengenakan barang branded untuk menciptakan kesan sukses dan berkelas, meskipun dalam kehidupan sehari-hari mereka mungkin menghadapi kesulitan finansial.

Media sosial berperan besar dalam memperkuat tren ini. Influencer dan selebriti sering kali memamerkan koleksi fashion mereka, membuat banyak orang merasa perlu mengikuti tren demi diakui atau dianggap relevan dalam lingkungannya.

Tidak sedikit yang rela berhutang hanya demi membeli barang bermerek yang bisa dipamerkan di Instagram atau TikTok. Dalam dunia yang semakin visual, apa yang terlihat lebih penting daripada apa yang sebenarnya terjadi di balik layar kehidupan seseorang.

Fashion branded telah menjadi simbol status yang membuat seseorang merasa lebih percaya diri dan dihormati. Bahkan, orang yang mengenakan barang asli dan mereka yang memakai barang KW pun sering kali dipersepsikan berbeda, meskipun dari kejauhan mungkin tidak terlihat bedanya.

Bagi sebagian orang, membeli barang mewah adalah bentuk pencapaian, sesuatu yang bisa mereka banggakan setelah bekerja keras. Namun, bagi yang lain, membeli barang branded lebih karena tekanan sosial, bukan karena kebutuhan atau apresiasi terhadap desain dan kualitasnya.

Fenomena ini menciptakan standar baru dalam kehidupan sosial, di mana nilai seseorang sering kali diukur dari apa yang mereka kenakan, bukan dari siapa mereka sebenarnya. Pakaian yang seharusnya hanya menjadi pelengkap gaya hidup, kini menjadi ukuran kesuksesan seseorang di mata orang lain.

Ada yang tetap memakai pakaian sederhana meskipun mampu membeli barang mahal, tetapi di mata sebagian orang, mereka mungkin dianggap kurang berkelas. Sebaliknya, mereka yang memakai barang branded, meskipun harus berhutang, sering kali mendapat penghormatan lebih besar dalam pergaulan sosial.

Tren ini semakin kuat dengan hadirnya budaya “flexing” atau pamer barang mewah di media sosial. Seseorang yang memiliki tas branded atau sepatu mahal lebih mudah mendapat perhatian dan dianggap lebih menarik dibandingkan mereka yang mengenakan barang biasa.

Hal ini juga berpengaruh pada cara orang melihat kesuksesan. Seseorang yang tampil sederhana sering kali dianggap kurang berhasil, sementara mereka yang tampil glamor dianggap lebih sukses, terlepas dari bagaimana kondisi keuangan mereka sebenarnya.

Tekanan sosial ini membuat banyak orang merasa perlu terus meng-update gaya hidup mereka dengan barang-barang terbaru. Akibatnya, industri fashion mewah terus berkembang pesat karena permintaan yang tidak pernah surut.

Namun, pada akhirnya, apakah semua ini benar-benar membawa kebahagiaan? Apakah kepemilikan barang bermerek benar-benar mencerminkan kesuksesan dan kebahagiaan seseorang, atau hanya sebatas ilusi sosial yang diciptakan oleh tren konsumtif?

Jean Baudrillard menyebut fenomena ini sebagai simulacra, di mana tanda-tanda menggantikan realitas (Baudrillard, 1983). Dalam dunia fashion, bukan bahan atau desain yang menjadi ukuran utama, melainkan logo dan eksklusivitas yang ditawarkan oleh merek. Konsumen membeli barang bukan untuk memanfaatkan fungsinya, tetapi untuk mendapatkan pengakuan sosial dari lingkungan sekitarnya.

Fashion seharusnya menjadi ekspresi diri, bukan sekadar alat untuk mencari validasi dari orang lain. Pada akhirnya, yang lebih penting bukanlah merek yang kita kenakan, tetapi bagaimana kita membawa diri dan merasa nyaman dengan pilihan kita sendiri.  (*/IN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *