PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) langsung diperkenalkan pada tahun 2005, Indonesia pernah berada dalam sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD, di mana proses ini didominasi oleh praktik lobi politik tertutup, kooptasi pemerintah pusat, dan minimnya ruang partisipasi rakyat. Sistem tersebut menjadi salah satu kritik utama dalam masa Orde Baru, yang akhirnya mendorong reformasi politik untuk mendekatkan kekuasaan kepada rakyat. Saat ini, wacana Pilkada kembali ke DPRD menguat.
Wacana tersebut menarik, terutama bagi kami pembelajar Kajian Budaya di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin. Pembelajar yang lagi segar-segarnya tentang pascastrukturalisme atau berbagai teori kritik.
Untuk itu, wacana pengembalian Pilkada ke DPRD bukan sekadar kebijakan politik yang dapat dilihat dari sudut efisiensi atau stabilitas, tetapi juga sebuah langkah mundur yang mengancam semangat demokrasi. Dalam konteks masyarakat Bugis, tradisi demokrasi yang berbasis pada partisipasi dan nilai-nilai egalitarian berisiko tergerus. Wacana ini menggambarkan upaya dominasi oleh elit politik yang ingin memperkuat kendali mereka atas struktur kekuasaan, menjauhkan rakyat dari hak mereka untuk berpartisipasi dalam proses politik. Perlukah elit politik belajar demokrasi dan kearifan lokal Bugis?
Dominasi Politik Elit
Hegemoni adalah kekuasaan yang diperoleh tidak hanya melalui kontrol langsung atas institusi politik, tetapi juga dengan membentuk konsensus sosial melalui budaya dan ideologi (Gramsci, red). Dalam hal ini, wacana pengembalian Pilkada ke DPRD merupakan contoh bagaimana elit politik mencoba untuk membangun konsensus yang menguntungkan mereka. Melalui narasi tentang efisiensi dan stabilitas politik, mereka memperoleh dukungan untuk mengurangi peran rakyat dalam pemilihan pemimpin. Di balik klaim tersebut, terdapat upaya untuk mengokohkan posisi mereka dengan menempatkan kekuasaan pada tangan sedikit orang yang memiliki kepentingan tersendiri. Proses ini mencerminkan dominasi kelas politik yang berusaha menggantikan proses partisipatif dengan sistem yang lebih terkendali dan lebih mudah dipengaruhi oleh kepentingan elit.
Hal ini juga perlu dilihat dari konsep kekuasaan yang tersebar dan mengatur kehidupan sosial melalui institusi (Foucault, red). Dalam konteks ini, pengembalian Pilkada ke DPRD menunjukkan bagaimana kekuasaan politik dapat terpusat melalui lembaga legislatif, yang mengatur dan membentuk proses politik. Dalam hal ini, institusi DPRD bukan hanya menjadi saluran aspirasi rakyat, tetapi juga alat untuk menjaga status quo dan memuluskan kepentingan elit. Sistem ini berisiko menciptakan kontrol yang lebih besar atas individu dan masyarakat, di mana suara rakyat semakin tidak didengar. Rakyat, yang sebelumnya berperan langsung dalam pemilihan pemimpin melalui Pilkada langsung, kini hanya menjadi objek yang diputuskan nasibnya oleh elit yang memilih pemimpin berdasarkan lobi politik, bukan atas dasar legitimasi sosial dan partisipasi kolektif.
Demokrasi Lokal Bugis
Dalam masyarakat Bugis, demokrasi memiliki akar yang kuat dalam nilai-nilai lokal seperti siri’ (harga diri), sipakatau (saling memanusiakan), dan musyawarah mufakat. Dalam masyarakat Bugis, pemimpin dipilih berdasarkan legitimasi sosial, kecakapan, dan kemampuan memenuhi kepentingan rakyatnya. Pemilihan pemimpin tidak hanya berdasarkan garis keturunan, tetapi melalui musyawarah mufakat yang melibatkan masyarakat luas, sebagaimana tercermin dalam konsep assituruseng (konsensus kolektif) (Mattulada, M. 1974. “Tradisi dan Politik dalam Masyarakat Bugis”)
Sistem Pilkada langsung, meskipun memiliki tantangan, sejatinya masih sejalan dengan semangat tersebut karena memberikan rakyat kebebasan memilih pemimpin mereka secara langsung. Mengembalikan Pilkada ke DPRD, dengan demikian, akan merusak prinsip sipakatau dan menghilangkan hak rakyat untuk berpartisipasi dalam politik.
Untuk itu, setiap bentuk dominasi perlu dihadapkan dengan resistensi untuk mencegah terjadinya hegemoni yang berlebihan. Sejarah Bugis sendiri mengajarkan kita bahwa sistem kekuasaan yang terlalu sentralistik sering kali memicu ketidakpuasan. Seperti yang terjadi pada masa Kerajaan Bone, ketika keputusan politik tidak melibatkan rakyat dan lebih didominasi oleh kekuasaan elit, munculnya konflik internal menjadi tak terhindarkan. Oleh karena itu, pengembalian Pilkada ke DPRD tidak hanya merusak partisipasi rakyat, tetapi juga berpotensi memicu ketidakstabilan politik di masa depan, mirip dengan pengalaman sejarah yang menunjukkan dampak buruk dari sistem yang tidak memperhatikan kehendak rakyat.
Narasi Efisiensi
Kritik terhadap narasi efisiensi dan stabilitas yang digunakan untuk mendukung pengembalian Pilkada ke DPRD sangatlah relevan. Meskipun Pilkada langsung memiliki berbagai tantangan, seperti politik uang dan konflik antarpendukung, solusi yang tepat bukanlah menghilangkan hak rakyat untuk memilih. Pasalnya, sistem kekuasaan yang tersembunyi sering kali menyembunyikan agenda-agenda tertentu yang merugikan rakyat. Oleh karena itu, alih-alih mengurangi hak rakyat, perbaikan harus dilakukan pada mekanisme Pilkada itu sendiri, seperti memperketat regulasi politik uang dan meningkatkan pendidikan politik bagi masyarakat. Dengan demikian, sistem politik tetap dapat berfungsi dengan baik, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai demokrasi dan partisipasi rakyat.
Pengembalian Pilkada ke DPRD adalah ancaman nyata terhadap demokrasi lokal yang telah diwariskan oleh tradisi Bugis. Demokrasi berbasis partisipasi aktif dan nilai-nilai lokal yang mengutamakan keadilan, musyawarah, dan pengabdian kepada rakyat harus dipertahankan. Pengembalian Pilkada ke DPRD merupakan upaya dominasi elit yang bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi dan budaya lokal. Oleh karena itu, menjaga Pilkada langsung bukan hanya soal mempertahankan sistem demokrasi modern, tetapi juga soal melestarikan nilai-nilai luhur yang menjadi bagian dari identitas masyarakat Indonesia. (*)