Penelitian Unhas menyebut dua jenis rumput laut di Sulawesi Selatan menyimpan potensi besar untuk mengurangi emisi karbon.
MAKASSAR, Inspirasinusantara.id – Di tengah laut dangkal di pesisir Takalar, Sulawesi Selatan, petani menggantungkan ribuan rumpun rumput laut pada tambang yang ditautkan ke patok bambu.
Sejak lama kawasan ini menjadi sentra produksi rumput laut, terutama jenis Gracilaria verrucosa dan Kappaphycus alvarezii.
Namun riset terbaru menyebut, tanaman laut ini tak cuma bernilai ekonomi—melainkan juga menyimpan potensi besar untuk mengatasi krisis iklim.
Baca juga: Kesehatan Warga Tergerus Krisis Iklim Makassar
Penelitian yang dipimpin oleh Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Prof Nita Rukminasari, mengungkap bahwa kedua jenis rumput laut itu menyerap karbon dioksida (CO₂) dalam jumlah besar selama masa budidaya.
“Rumput laut merupakan bagian dari ekosistem karbon biru. Kemampuannya menyerap karbon sangat penting dalam mitigasi perubahan iklim,” kata Prof Nita, yang juga menjabat Sekretaris Pusat Studi Perubahan Iklim Unhas.
Baca juga: Nelayan di Kepulauan Spermonde Kian Rentan Hadapi Iklim
Melalui proses fotosintesis, rumput laut menyerap CO₂ dari air laut dan menyimpannya dalam bentuk biomassa. Dalam penelitian yang dilakukan dari November 2023 hingga Maret 2024 itu, tim Nita menemukan bahwa G. verrucosa memiliki serapan karbon lebih tinggi per gram dibanding K. alvarezii.
Jenis pertama mampu menyerap hingga 0,63 miligram CO₂ per gram per jam, sementara jenis kedua hanya 0,10 miligram CO₂.
“Ini bisa dijelaskan melalui perbedaan morfologi,” ujar Prof Nita.
Talus atau tubuh G. verrucosa yang lebih tipis membuat cahaya lebih mudah menembus dan dimanfaatkan untuk fotosintesis.
Hasilnya, laju pertumbuhan spesifiknya juga lebih tinggi, mencapai 8,28 persen per hari dibandingkan 6,22 persen pada K. alvarezii.
Namun dalam hal biomassa akhir, K. alvarezii justru menghasilkan bobot lebih besar, mencapai 546 gram per siklus tanam, dibanding 403 gram untuk G. verrucosa. Faktor cuaca diduga turut berperan.
Selama penelitian berlangsung, wilayah budidaya G. verrucosa di Ujung Baji menikmati cuaca cerah, sementara lokasi K. alvarezii di Aeng Batu-Batu kerap diguyur hujan.
Perbandingan Penyerapan Karbon
Jika dihitung berdasarkan lahan, K. alvarezii menyerap sekitar 20,6 ton CO₂ per hektare dalam satu siklus tanam. G. verrucosa memang hanya menyerap 1,67 ton CO₂ per hektare, tapi masa tanamnya lebih pendek sehingga bisa dibudidayakan hingga sepuluh kali dalam setahun.
Artinya, total tahunan dari G. verrucosa lebih besar.
Rumput laut termasuk dalam kelompok produsen primer laut, bersama mikroalga dan lamun, yang dikenal mampu menyimpan karbon lebih efisien daripada tanaman darat.
Menurut kajian sebelumnya, kandungan karbon dalam Gracilaria bisa mencapai 31 persen dari bobot keringnya, sementara Eucheuma—keluarga dari K. alvarezii —sekitar 30 persen.
“Artinya, kalau kita serius mengembangkan budidaya ini dengan pendekatan lingkungan, kita bisa mendapatkan manfaat ganda: ekonomi dan iklim,” ujarnya.
Peluang Kebijakan Karbon Biru
Penyerapan karbon oleh rumput laut kini menjadi bagian dari diskusi internasional soal solusi iklim berbasis alam atau nature-based solutions.
Indonesia yang punya garis pantai terpanjang kedua di dunia punya potensi besar dalam hal ini.
Namun sejauh ini, belum ada kebijakan yang secara eksplisit memasukkan budidaya rumput laut dalam skema pengurangan emisi.
Penelitian Unhas ini memperkuat posisi rumput laut sebagai penyerap karbon potensial. Tak hanya menyerap CO₂, rumput laut juga berfungsi sebagai penyangga ekosistem pesisir, penyaring nutrien, serta mendukung keanekaragaman hayati laut.
Namun pengembangan budidaya ini menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari pencemaran, perubahan iklim, hingga tekanan pasar.
Prof Nita mendorong agar pemerintah mulai memetakan lokasi budidaya strategis, mendorong sistem insentif karbon bagi petani, dan membangun sistem monitoring emisi.
“Rumput laut bukan sekadar komoditas, tapi bagian dari sistem pendukung kehidupan pesisir,” katanya. (Andi/IN)