IN, MAKASSAR — Google Doodle hari ini, 7 Desember 2023 menampilkan gambar kapal pinisi di laman utama pencarian Google. Pembuatan kapal legendaris ini masih bisa dijumpai di Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel) dan UNESCO menetapkannya sebagai Warisan Budaya Dunia pada 2017.
Mengutip dari situs explore.makassar.go.id, awal munculnya pinisi perahu layar asal Sulsel ini diketahui dari sebuah tulisan atau artikel di majalah Koloniale Studiën tahun 1917: “… sebuah sekunar kecil dengan tali-temali berteladan Eropa”. Sebagai kendaraan laut Nusantara, layar tipe kets-sekunar, pinisi memang baru terekam pada pertengahan abad ke 19 dan baru pada awal abad ke-20 makin banyak perahu asal Sulawesi mulai berdatangan.
Selain itu, catatan adanya pembuatan perahu di ujung tenggara Sulawesi Selatan berasal dari Notitie atau ‘Berbagai Catatan’, karangan Cornelis Speelman, pemimpin armada Kompeni India Timur Belanda yang pada tahun 1666-1669 menyerang dan menaklukkan kesultanan Makassar. Dalam ratusan halaman notulen tulisan tangan tentang kegiatan Speelman selama perang itu. Terdapat juga beberapa laporan tentang keadaan Sulawesi pada masanya.
“Biera, een propere negerij op den hoeck van Lassem. Daeraan heeft de Compagnie oock eygendom, maer is door de Bougijs gebrand. […] Het volck van dese negerij sijn almeest praauwemaeckers, alsoo alhier wel de voorneemste timmerwerff van de Maccassaren is geweest, om de houtrijckheyt van Boelecomba daar naest aan leggende, uytleverende seer durabel ijsserhout, van ongelooffelijcke swaarte, en voorts ander slagh meede.”
“Bira adalah sebuah negeri sendiri di Tanjung Lassem. Kebanyakan rakyat negeri itu adalah pembuat perahu, sehingga di situ pun terdapat galangan terpenting orang Makassar, sebab negeri itu berdekatan dengan Bulukumba yang kaya akan kayu, menyediakan kayu besi yang sangat bertahan dengan beratnya yang tak dapat dipercaya dan berbagai jenis kayu lain.”
Sepucuk naskah lainnya tentang pelayaran dan perdagangan pada pertengahan kedua abad ke-17 ini berasal juga Kodeks Amanna Gappa l, menurut cendekiawan Belanda yang pada tahun 1869 menerbitkan sebuah artikel “Pedagang sulawesi sampai hari ini masih sangat dihormati oleh semua saudagar dan pelaut”.
Naskah ini juga membahas berbagai aturan yang harus diikuti pelaut, saudagar dan penumpang selama berlayar dan menjabarkan cara membagi hasil suatu pelayaran perdagangan. Catatan soal pelayaran dan perdagangan pada pertengahan kedua abad ke-17 juga ada di Kodeks Amanna Gappa I.
Asal Usul Nama Pinisi
Pinisi asli Sulawesi pertama diperkirakan dibangun pada tahun 1906 oleh pengrajin perahu Desa Ara dan Lemo-Lemo di Bulukumba. Mereka membangun perahu pertama untuk seorang nakhoda Bira. UNESCO menetapkan seni pembuatan kapal Pinisi sebagai Karya Agung Warisan Manusia yang Lisan dan Takbenda pada Sesi ke-12 Komite Warisan Budaya Unik pada tanggal 7 Desember 2017.
Pembuat kapal di Ara dan Lemo-Lemo, pusat pembuatan kapal di wilayah Bulukumba, menghubungkan kemahiran mereka dalam arsitektur kapal laut (dan, tergantung pada sumbernya, pembuatan pinisi pertama)[5] pada Sawerigading, salah satu protagonis utama dalam epos Bugis Sureq Galigo.
Dari sebuah tradisi setempat, nama pinisi diberikan oleh seorang raja Tallo, I Mangnginyarrang Daéng Makkiyo, kepada perahunya. Namanya berasal dari dua kata, yaitu “picuru” (artinya “contoh yang baik”), dan “binisi” (sejenis ikan kecil, lincah dan tangguh di permukaan air dan tidak terpengaruh oleh arus dan ombak).
Namun ada sumber lain menyatakan bahwa nama pinisi berasal dari kata panisi (kata Bugis, berarti “sisip”), atau mappanisi (menyisipkan), yang mengacu pada proses mendempul. Karena lopi dipanisi berarti perahu yang disisip/didempul, telah disarankan bahwa kata panisi mengalami perubahan fonemis menjadi pinisi.
Nama itu juga mungkin berasal dari pinasse, kata Jerman dan Perancis yang menandai kapal layar ukuran sedang (bukan kata Inggris pinnace yang pada waktu itu menandai sejenis sekoci dayung dan bukan sebuah perahu layar). Kata ini diserap menjadi pinas atau penis oleh orang Melayu setelah tahun 1846.
Di periode yang sama, sumber-sumber Belanda mulai mencatat jenis baru kapal layar yang digunakan secara lokal yang didaftarkan oleh syahbandar di bagian barat Kepulauan Melayu sebagai ‘penisch’, ‘pinisch’, atau ‘phinis’ pada akhir abad ke-19 penggunaan kapal semacam itu rupanya telah menyebar ke Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Kata itu sendiri mungkin diambil dari pinasse atau peniche bahasa Belanda, Jerman atau Prancis, pada saat itu merupakan nama untuk kapal layar berukuran kecil hingga sedang yang agak tidak ditentukan. Kata ‘pinnace’ dalam bahasa Inggris sedari abad ke-18 merujuk pada salah satu kapal yang dibawa kapal perang atau kapal dagang yang lebih besar.
Sebuah kapal bersistem layar pinisi memiliki tujuh hingga delapan layar pada dua tiang, diatur dengan cara yang mirip dengan sekunar-keci: disebut ‘sekunar’ karena semua layarnya adalah layar ‘depan-belakang’, berbaris di sepanjang garis tengah dari lambung pada dua tiang; dan disebut ‘keci’, karena tiang di buritan kapal agak lebih pendek daripada yang ada di haluan.
Layar agung besar bentuknya berbeda dari sistem layar gap gaya barat, karena mereka sering tidak memiliki bom dan layarnya tidak diturunkan dengan gap. Sebaliknya layar itu digulung menuju menuju tiang, seperti tirai, sehingga memungkinkan gapnya untuk digunakan sebagai derek geladak di pelabuhan. Bagian bawah tiang itu sendiri mungkin menyerupai tripod atau terbuat dari dua tiang (bipod).
Kapal bersistem layar pinisi (palari) memiliki panjang sekitar 50–70 kaki (15,24–21,34 m), dengan garis air saat muatan ringan 34–43 kaki (10,36–13,1 m). Palari yang kecil hanya sepanjang sekitar 10 meter.
Pada 2011 sebuah PLM (perahu layar motor) bersistem layar pinisi besar telah diselesaikan di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia memiliki panjang 50 m dan lebarnya 9 m, dengan kapasitas sekitar 500 ton. (*/IN)