IN, MAKASSAR – Perkembangan industri musik di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari pengaruh budaya populer yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa yang memasuki wilayah Nusantara. Perubahan zaman di Indonesia juga terhubung dengan fenomena globalisasi, di mana jejak-jejak kolonialisme masih membekas, dan pengaruh negara-negara adidaya dalam bidang politik, ideologi, budaya, ekonomi, dan pendidikan masih terasa.
Industri musik turut terkait dengan bagaimana budaya tradisional berinteraksi dengan budaya populer yang dibawa oleh bangsa Eropa. Kata “musik” sendiri berasal dari nama dewi-dewi dalam mitologi Yunani Kuno, yaitu Muse, yang dianggap bertanggung jawab atas kemajuan seni dan pengetahuan. Musik dapat diartikan sebagai susunan nada yang melibatkan irama, lagu, dan harmoni, memiliki dampak emosional.
Perkembangan musik juga erat kaitannya dengan kehidupan dalam tradisi masyarakat lokal di seluruh Indonesia, jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Seni musik sudah berkembang dan melekat dalam kegiatan ritual, dengan keyakinan bahwa suara yang dihasilkan oleh tubuh atau alat tertentu memiliki kekuatan magis sebelum masa Hindu-Buddha.
Era kolonial memberikan dampak signifikan pada musik di Nusantara, menjadi awal dari perkembangan musik modern. Komponis lokal mulai menciptakan perpaduan antara musik Barat dan Nusantara, menandai munculnya bentuk musik populer yang dominan.
Di Sulawesi Selatan, era industri musik ditandai dengan adanya toko kaset yang menjual rekaman musik lokal dan internasional. Kaset musik berbahasa Inggris, terutama rock, melimpah di toko-toko kaset, begitu pula dengan kaset pemusik dari Jakarta, mulai dari keroncong hingga Heavy Metal.
Perusahaan label rekaman muncul di Ujung Pandang pada tahun 1970-an. Awalnya, perusahaan dari Jawa membuka cabang di Ujung Pandang, seperti Suara Mas, OK Record, dan Special Record pada tahun 1974 dan 1975.
Selain ketiga perusahaan tersebut, Irama Baru Records didirikan pada tahun 1970 sebagai toko penjualan kaset dan mulai merekam pada tahun 1976. Libel Records berdiri pada tahun 1982 dan membuka cabang Jansen Records pada tahun 1987.
National Record hadir pada tahun 1982 dan aktif merekam hingga 1986, kemudian membuka perusahaan rekaman lain, Gema Aries Record.
Perjalanan rekaman musik yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan di Kota Ujung Pandang mencakup berbagai genre lokal, tidak hanya musik tradisional, tetapi juga lagu berbahasa daerah yang disertai dengan instrumen musik modern dan lirik yang mencerminkan realitas sosial pada masa tersebut.
Di Sulawesi Selatan sendiri rekaman pertama musik dilakukan oleh peneliti Jaap Kunst, seorang musisi sekaligus juga seorang peneliti yang tertarik dengan musik etnis di Indonesia.
Dalam kunjungannya ke Sulawesi pada tahun 1932, Kunst merekam dengan media silinder lilin hasil rekamannya sebagian besar rusak ketika dikirim ke Berlin Archives dan hasil rekamannya tidak untuk disebarluaskan.
Musisi pertama Sulawesi Selatan yang masuk dapur rekaman pada zaman Pemerintah Kolonial Belanda adalah Hoe Eng Djie, peranakan Tionghoa dan salah satu musisi yang terkenal di Ujung Pandang mulai tahun 1930-1950-an.
Pada 1938, 1939, 1940 ia diundang ke Surabaya oleh studio Hoo Eng Soo (Canary Records) untuk merekam beberapa Celebes Volksliederen (lagu rakyat Sulawesi), selain itu lagu-lagu yang ia ciptakan dan nyanyikan diiringi kelompok musiknya bernama Sinar Sedjati dan Wari-Waria.
Di Kota Ujung Pandang sendiri pada dekade 1950-an belum dapat dijumpai perusahaan label rekaman, hanya Radio Republik Indonesia (RRI) yang memfasilitasi penyiaran lagu-lagu daerah kalo itu atas permintaan RRI Jakarta.
Hoe Eng Djie pada saat itu diundang sekaligus menjadi kepala rombongan musik dengan lagu makassar. Ia juga mengorbitkan penyanyi-penyanyi terkenal di Ujung Pandang yakni Daeng Gassing, Tjung-an, Hasanuddin, Abdullah dan Adang. Kemudian membentuk band Singara Kullu-kulluwa.
Selain Hoe Eng Djie ada juga penyanyi kelahiran Jawa, pemimpin musik, sekaligus juga anggota militer yaitu Djajadi Djamain yang populer di Ujung Pandang tahun 1950-an. Ia merekam lagu Makassar dengan iringan band Dasa Rama Band, lagu yang ia bawakan seperti Ati Raja dan Dongang-Dongang.
Adapun seniman musik Makassar pentolan dari RRI selain Hoe Eng Djie dan Djajadi Djamain, yaitu Bora Daeng Irate, B. Manjia, Sum Daeng Caya, Daeng Rombo, Kumalasari dan Ratnasari dari Orkes Irama Satria.
Hingga memasuki era 1960-an lagu-lagu daerah yang berasal dari Sulawesi Selatan yang direkam oleh Lokananta mulai mendapatkan tempat di skena musik nasional. Lagu-lagu seperti Anging Mammiri dan Ati Raja.