Desa  

Cerita Budaya Desa Baringeng II: Mitos dan Kepercayaan

TRADISI. Pertunjukan tari tradisional dalam kegiatan Assorajang di Desa Baringeng, Soppeng, beberapa waktu lalu. (foto:IST/InspirasiNusantara)

IN, SOPPENG– Melebur Bersama karena sebuah simpul ikatan kekeluargaan dan saling memecahkan masalah salah hal yang dibentuk warga Desa Baringeng, Kecamatan Lilirilau, Kabupaten Soppeng. Hal itu ditunjukan lewat kegiatan budaya, Assorajang setiap tahunnya.

Dibalik kegiatan itu, ternyata didasari oleh cerita rakyat dengan dasar sejarah yang panjang.

Dalam sebuah tuturan para pendahulu di desa tersebut menyampaikan bahwa Baringeng dalam arti bahasa Bugis yakni, Maringeng Na Akka Alena atau meringankan segala beban. Sehingga dipercaya, karena kesejukan, keindahan, dan karakter masyarakat Desa Baringeng, setiap yang telah berkunjung akan merasakan ketenangan atas semua beban yang sedang ditanggungnya. Arti tersebut disematkan karena dahulu Baringeng menjadi salah satu daerah otonom di tengah-tengah berkembangnya kerajaan besar di Sulawesi Selatan.

Kegigihan dan ketulusan para warga Desa Baringeng atas segala hal yang dilakukan membawa keberkahan. Dikatakan otonom, karena kemandirian pangan dan keberlangsungan hidup bermasyarakat mampu mereka penuhi. Dari kemandirian tersebut, pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan besar di Sulsel, Baringeng enggan untuk dipimpin melainkan harus diayomi.

Ketika satu kerajaan, misalnya kerajaan Bone ingin menekan mereka, maka Datu (pemimpin) Baringeng menegaskan wilayahnya berpindah untuk menjadi bagian kerajaan Soppeng. Begitu pun seterusnya, ketika kerajaan Soppeng mulai menekan, mereka bergeser menjadi bagian wilayah kerajaan Wajo. Bahkan, Baringeng pun pernah menjadi bagian dari kerajaan Gowa sebagai ujung selatan Sulawesi.

Tidak hanya tentang sejarah itu, jika sedang hadir pada Assorajang atau berkunjung ke Saoraja Desa Baringeng kapan saja, maka cerita rakyat yang menunjukkan kebesaran sang pencipta dapat didengarkan. Tentang Ma’Dara Takku (berdarah biru).

Konon di Desa Baringeng, ada seorang pemuda sebatang kara (tak memiliki nama) yang menjadi anutan masyarakat dalam kerja-kerja bercocok tanam. Dia pandai melihat rasio bintang dan mengetahui kapan serta seperti apa langkah-langkah menanam tumbuh-tumbuhan yang baik, sehingga terhindar dari hama atau yang dapat merusak tanaman. Dari keahlian itulah, Baringeng dapat menjadi lumbung pangan dan otonom pada masanya. Hanya saja, pemuda tersebut menderita penyakit kulit.

Namun, di balik kondisi tubuhnya yang kurang baik itu terdapat keberkahan tersembunyi dari Sang Pencipta. Berkah dari karakter sabar dan tidak gegabah dalam melakukan sesuatu yang dimilikinya.

Keberkahan itu bermula, pada masa Batara Guru di Tanah Luwu (saat ini Kabupaten Luwu) mencarikan suami untuk anak semata wayangnya. Batara Guru tinggal memiliki anak satu karena anak pertama mereka meninggal ketika dilahirkan. Namun, kala dikuburkan tiba-tiba kuburannya lesap dan berganti menjadi sepohon padi. Hal itu kemudian di suku Bugis ada prosesi adat untuk yang dikenal dengan nama Sangiang Seri (ratu padi).

Lalu anak kedua Batara Guru pun mengalami hal serupa, usai dilahirkan meninggal dan kuburnya tiba-tiba lesap, dari hal itu juga dikenal dengan adanya Pammana Tana (dewa tanah).
Anak perempuan Batara Guru yang masih hidup tersebut berbeda.

Dia tumbuh dan menjadi gadis cantik nan rupawan, tetapi ia memilik perbedaan dengan manusia lainnya karena memiliki darah biru. Hal itu diketahui Batara Guru saat anaknya mengalami menstruasi untuk yang pertama kalinya. Namun, darah yang keluar bukan berwarna merah. Berangkat dari hal itu, Batara Guru berpesan bahwa anaknya harus menikah dengan laki-laki yang memiliki warna darah yang sama.

Pada suatu waktu, tibalah masa di mana anak Batara Guru dewasa hendak dinikahkan. Para prajurit terbaik Tana Luwu dikumpulkan, mereka kemudian diberi perintah untuk menuju ke Kerajaan Bone, Wajo, Soppeng, dan Gowa untuk mencari lelaki yang juga berdarah biru. Sebab, dari bahasa kalbu Batara Guru bahwa ada satu laki-laki yang juga memiliki darah yang sama dengan anaknya.

Seiring berjalannya waktu, para prajurit telah hilir-mudik bertanya di semua kerajaan yang ditugaskan, namun tak satu pun menyebutkan ada sosok seperti yang mereka cari. Dalam perjalanan pulang, para prajurit melintas lalu kemudian singgah di wilayah Baringeng, tepat di samping rumah si pemuda berpenyakit kulit tersebut. Sembari memperbaiki alat pembajak sawah di bawah rumah panggungnya, si pemuda bercerita dengan para prajurit. Tujuan para prajurit ini pun ia ketahui. Tiba-tiba, sambil bercengkrama, tangan si pemuda teriris dan mengeluarkan darah berwarna biru. Sebelum bergegas membalut tangannya, salah seorang prajurit melihatnya dan menunjuk dengan tegas.

Suasana sejenak hening. Para prajurit kaget dan seakan tidak percaya. Pasalnya, dia melihat pemuda itu sangat dekil karena penyakit kulit. Mereka pun bergegas pergi meninggalkan pemuda tersebut untuk kembali ke Tana Luwu.

Setibanya di Tana Luwu, mereka melaporkan bahwa di semua kerajaan tidak ditemukannya seseorang seperti yang dimaksudkan. Tetapi, yang mereka temukan hanyalah seorang pemuda yang memiliki penyakit kulit, jadilah para prajurit menyangsikan temuan mereka. Batara Guru pun tidak peduli akan hal itu, selama ia berdarah biru, maka itulah orang yang ia cari. Para prajurit diperintahkan untuk memboyong si pemuda itu di Baringeng.

Tetapi setibanya kembali di Baringeng, si pemuda tidak berani ikut karena penyakitnya. Selain itu, si pemuda menyampaikan jika dirinya keluar dari Baringeng maka tidak akan kembali menginjakkan kakinya lagi ke daerah tersebut. Para prajurit pun menyampaikan, apa pun permintaannya akan dikabulkan oleh Batara Guru. Akhirnya si pemuda pun ikut tanpa membawa apa pun selain raga dan pakaian yang melekat di tubuhnyanya.

Di tengah perjalanan, rombongan mereka bertemu dengan seekor kerbau balar (kulit dan bulu putih) sangat besar dan seolah hendak menyerang mereka. Para prajurit pun berhamburan dan meninggalkan si pemuda sendiri. Seiring berjalannya waktu, para prajurit kembali ke Tana Luwu. Tibanya di hadapan Batara Guru, mereka menyampaikan apa yang mereka hadapi. Batara Guru memerintahkan agar mereka harus kembali, sebab si pemuda itu tidak mati. Para prajurit pun kembali dan membawa tombak masing-masing.

Tibanya di wilayah terakhir mereka meninggalkan si pemuda, mereka tidak melihat ada tanda-tanda seseorang sudah dibunuh oleh hewan buas. Mereka pun mencari-cari, lalu salah satu dari mereka melihat rumah kecil dan satu orang lelaki gagah dan tampan di dalamnya. Para prajurit pun bertanya ke orang itu, tentang sosok yang dicarinya. Laki-laki itu pun menjawab bahwa itu adalah dirinya, semua penyakit di kulitnya hilang karena telah dijilat oleh kerbau balar itu.

Tanpa berbicara banyak lagi, mereka bergegas meninggalkan tempat tersebut. Sementara tombak para prajurit ditancapkan ke tanah. Di kemudian hari kayu tombak itu tumbuh dan saat ini dikenal dengan nama daerah Ale Pakkali’e (daerah di Kabupaten Wajo). Setibanya di Tanah Luwu, si pemuda langsung dinikahkan dengan anak Batara Guru.

Dua tahun kemudian, si pemuda memiliki anak bersama Pajung Luwu (anak Batara Guru). Si pemuda itu pun menyampaikan ke pemimpin Tanah Luwu, yaitu Batara Guru bahwa dirinya akan memberi ucapan terima kasih kepada orang-orang Baringeng berupa satu rumah panggung. Maka, Batara Guru pun memerintahkan menebang pohon dengan kualitas terbaik di Tanah Luwu yang dinamakan Walenrengnge. Tidak membutuhkan waktu lama, perlengkapan itu pun jadi.

Lalu, satu unit perlengkapan itu dikirim langsung diiringi doa ke sang pencipta. Sehingga satu unit perlengkapan rumah itu dikirim tanpa pengawalan, bahkan melalui sungai dan melawan arus dari utara ke selatan. Dalam perjalanan perlengkapan itu, di beberapa wilayah banyak yang ingin mengambilnya namun tidak berhasil. Kemudian pada akhirnya, satu unit perlengkapan itu sampai di Sumpang Baringeng (hulu sungai kecil yang bermuara ke sungai besar di Sulsel).

Para masyarakat Baringeng pun dihebohkan dengan satu unit perlengkapan rumah itu. Hingga dibuat pusing, karena besarnya (ratusan meter persegi), entah bagaimana cara mendirikannya. Tetapi, Datu Baringeng (Pemimpin Baringeng), Sultan La Mappe menyerukan ke masyarakatnya untuk tidak memusingkan hal tersebut. Ia menyampaikan bahwa perangkat itu datang tak diketahui asalnya dan berhenti dengan sendirinya. Lalu ia menyampaikan bahwa pasti akan mencari tempatnya dan berdiri dengan sendirinya.

Keesokan harinya, masyarakat tiba-tiba melihat sebuah rumah panggung telah berdiri yang menghadap ke utara. Hingga saat ini di Desa Baringeng, rumah masyarakat tidak dibolehkan menghadap ke arah yang sama. Harus menghadap timur atau barat, sebab telah banyak bukti yang masyarakat lihat, jika ada yang membuat rumah dengan hadapan yang sama dengan Salassa’e maka keberkahan tidak menyertainya. Ada yang baru dibangun tiba-tiba terbakar atau bahkan mahluk hidup yang menempati ada yang tiba-tiba meninggal.

Setelah berdiri, masyarakat pun berbondong-bondong datang untuk memberinya atap. Namun, karena ukurannya yang cukup besar, mereka pusing akan menggunakan apa sebagai atap. Tiba-tiba, di pinggir sungai bertumpuk banyak daun Nipah. Dari daun Nipah itulah atap rumah itu dibuat. Kemudian dindingnya dibuat dari bambu.

Setelah rumah itu rampung, tanaman-tanaman padi masyarakat pun siap panen dan terlihat memiliki isi yang bagus. Tanpa ada petanda apa pun, tiba-tiba ada suara terdengar di beberapa warga secara bersamaan untuk membuat prosesi syukuran atas hasil buminya itu. Tempatnya pun ditunjukkan di rumah panggung besar itu yang telah diberi nama Sallassa oleh warga Baringeng. Prosesi itu pun dikenal dengan nama Assorajang. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *