INSPIRASI NUSANTARA–Kearifan lokal Sulsel tidak hanya menjadi warisan budaya, tetapi juga cermin nilai-nilai sosial yang tetap relevan hingga kini. Salah satu tradisi yang masih dijaga di Tana Toraja adalah Ma’papangngan, sebuah praktik sosial yang mencerminkan kebersamaan dan kesetaraan gender.
Tana Toraja dikenal dengan kekayaan budayanya yang masih lestari hingga kini. Salah satu kearifan lokal yang tetap dijaga dan diwariskan adalah Ma’papangngan, sebuah kebiasaan sosial yang mencerminkan kesetaraan gender dan nilai kebersamaan.
Tradisi ini bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga masih menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Toraja saat ini sebagai bentuk pelestarian kearifan lokal yang kaya makna.
Menurut jurnal yang ditulis oleh Lisa Elisabet, jika dikaitkan dengan teori Polis dari Aristoteles, Ma’papangngan menunjukkan adanya kesetaraan gender dalam kehidupan sosial. Tradisi ini berlangsung dalam dua bentuk: secara formal dalam upacara adat Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’, serta secara nonformal dalam interaksi sehari-hari di lingkungan masyarakat.
Praktik ini menjadi bukti bagaimana kearifan lokal dapat menghadirkan keseimbangan antara peran laki-laki dan perempuan dalam menjaga tradisi.
Makna Ma’papangngan dalam Kehidupan Sosial Toraja
Ma’papangngan merupakan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun sebagai cara masyarakat Toraja menyambut tamu dengan Sepu’, wadah yang berisi Pangngan—campuran sirih, pinang, dan kapur.
Ritual ini sering dilakukan dalam acara adat besar, seperti Rambu Tuka’ (upacara sukacita) dan Rambu Solo’ (upacara kematian), serta dalam pertemuan nonformal di lingkungan masyarakat sebagai bentuk penghormatan dalam kearifan lokal Toraja.
Menariknya, kearifan lokal dalam Ma’papangngan tidak hanya melibatkan perempuan. Laki-laki juga memiliki peran penting dalam tradisi ini, meskipun mereka tidak selalu mengonsumsi Pangngan.
Sebagai bentuk penghormatan kepada tamu, laki-laki biasanya menawarkan rokok atau gula-gula sebagai alternatif bagi mereka yang tidak mengunyah sirih. Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal dalam budaya Toraja telah menerapkan kesetaraan gender sejak lama, di mana laki-laki dan perempuan sama-sama berperan dalam menjaga tradisi serta mempererat hubungan sosial.
Adaptasi Ma’papangngan di Era Modern
Seiring dengan perubahan zaman, jumlah orang yang mengonsumsi Pangngan di Toraja semakin berkurang. Namun, masyarakat tetap mempertahankan kearifan lokal ini dengan melakukan adaptasi, seperti menambahkan gula-gula atau permen ke dalam Sepu’.
Dengan cara ini, siapa pun dapat turut serta dalam prosesi Ma’papangngan tanpa merasa terkucilkan, sehingga nilai kearifan lokal tetap terjaga meskipun mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.
Bagi masyarakat Toraja, kearifan lokal dalam Ma’papangngan lebih dari sekadar ritual adat. Tradisi ini memiliki makna mendalam sebagai simbol kebersamaan, keramahan, dan keterbukaan.
Berbagi Pangngan atau rokok dalam pertemuan sosial menciptakan suasana yang akrab, di mana orang-orang saling bertukar cerita dan memperkuat hubungan sosial mereka, menjadikan Ma’papangngan sebagai bagian penting dari kearifan lokal yang terus berkembang.
Ma’papangngan adalah contoh nyata bagaimana kearifan lokal dapat tetap bertahan dan relevan di tengah perubahan zaman. Lebih dari sekadar budaya turun-temurun, Ma’papangngan mencerminkan prinsip kesetaraan dan keharmonisan sosial dalam masyarakat Toraja.
Dengan menjaga dan menyesuaikan kearifan lokal ini, generasi muda dapat terus melestarikan nilai-nilai budaya tanpa kehilangan identitas mereka di era modern, memastikan bahwa kearifan lokal Toraja tetap hidup dan dihormati oleh generasi mendatang. (*/IN)
SUMBER : Percetakan OSF, Jurnal oleh Lisa Elisabet, KESETARAAN GENDER DALAM RITUAL MA’PAPANGNGAN DI TANA TORAJA BERDASARKAN POLIS ARISTOTELLES.