INSPIRASI NUSANTARA–Awal tahun merupakan waktu yang tepat untuk merenung dan menetapkan tujuan baru, inspirasi seringkali datang dari tempat yang tak terduga, seperti layar lebar. Film-film bertema budaya Sulawesi Selatan menyuguhkan kutipan-kutipan yang mengingatkan kita pada nilai-nilai luhur, seperti kehormatan, solidaritas, dan pengorbanan.
Awal tahun sering menjadi momen refleksi, evaluasi, dan semangat baru. Dalam dunia perfilman Indonesia, sejumlah film bertema budaya Sulawesi Selatan menyajikan kutipan-kutipan khas yang menginspirasi, sekaligus menjadi pengingat akan nilai-nilai luhur masyarakatnya. Berikut adalah beberapa film yang berhasil menggambarkan kekayaan budaya tersebut:
1. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
“Pantang pisang berbuah dua kali”
Kalimat “Pantang pisang berbuah dua kali” dalam film ini sarat akan makna filosofi hidup Bugis-Makassar. Ungkapan ini mengacu pada nilai siri’ (harga diri) yang kuat. Masyarakat Sulsel percaya bahwa kesalahan tidak seharusnya diulang, sebagai bentuk menjaga kehormatan diri dan keluarga.
Kutipan ikonis “Pantang pisang berbuah dua kali” dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tak hanya menggambarkan filosofi hidup masyarakat Bugis-Makassar, tetapi juga relevan bagi generasi muda, termasuk Gen Z, yang sering dihadapkan pada tantangan emosional, khususnya dalam hubungan percintaan.
Dalam budaya Bugis-Makassar, ungkapan ini mengacu pada nilai siri’ (harga diri), di mana kesalahan, terutama yang merugikan diri sendiri, tidak seharusnya diulang. Hal ini menjadi pengingat untuk belajar dari pengalaman dan melangkah maju dengan penuh martabat.
2. Uang Panai’
“Cinta butuh pengorbanan, tapi pengorbanan itu juga harus dihargai”
Film Uang Panai’ menjadi representasi budaya Bugis-Makassar yang kental dengan tradisi adat mahar tinggi dalam pernikahan. Kutipan “Cinta butuh pengorbanan, tapi pengorbanan itu juga harus dihargai” menjadi pengingat akan pentingnya kesungguhan, tanggung jawab, dan penghormatan dalam sebuah hubungan.
Bagi generasi Z yang tumbuh di era modern, nilai-nilai ini tetap relevan, terutama jika dikaitkan dengan budaya siri’ (harga diri). Budaya ini menuntut perjuangan nyata dalam membuktikan keseriusan, baik dalam hubungan maupun aspek kehidupan lainnya. Dalam konteks pernikahan, perjuangan memenuhi uang panai’ bukan sekadar tradisi, tetapi juga simbol komitmen dan penghormatan kepada pasangan serta keluarganya.
Namun, Gen Z juga dapat memaknai kutipan ini secara lebih luas: memperjuangkan sesuatu yang bernilai harus disertai dengan penghargaan, baik dari diri sendiri maupun dari orang lain. Dalam hubungan, perjuangan haruslah seimbang dan saling mendukung. Jangan sampai pengorbanan menjadi beban sepihak yang meruntuhkan nilai siri’.
3. Mapacci
“Keberkahan hadir lewat restu orang tua”
Film Mapacci mengangkat salah satu tradisi pra-pernikahan khas Bugis-Makassar yang sarat akan makna spiritual dan budaya. Prosesi ini melibatkan doa dan restu orang tua, dengan kalimat “Keberkahan hadir lewat restu orang tua” menjadi inti pesan yang menggarisbawahi pentingnya hubungan kekeluargaan.
Bagi Gen Z Sulawesi Selatan yang hidup di tengah modernisasi, nilai ini menjadi pengingat bahwa di balik kebebasan dan kemandirian, peran keluarga tetap tak tergantikan. Restu orang tua dalam tradisi Mapacci mencerminkan hubungan saling menghormati yang kuat antara generasi muda dan orang tua.
Hal ini menjadi landasan penting dalam membangun masa depan yang berkah dan harmonis.
4. Siri’ Na Pacce
“Lebih baik mati daripada kehilangan harga diri,”
Film Siri’ Na Pacce menghadirkan nilai-nilai luhur Bugis-Makassar, yakni siri’ (harga diri) dan pacce (solidaritas atau empati), yang menjadi landasan hidup masyarakat Sulawesi Selatan.
Dialog seperti, “Lebih baik mati daripada kehilangan harga diri,” menegaskan betapa pentingnya menjaga kehormatan sebagai warisan yang tak ternilai. Nilai ini tidak hanya menjadi pedoman bagi generasi terdahulu, tetapi juga relevan bagi Gen Z yang hidup di era modern.
5. Film Silariang
Kutipan dalam film Silariang:
“Saya akan buktikan kalau saya ini orang Bugis-Makassar, taro ada taro gau’.”
Kutipan tersebut cerminan nilai luhur masyarakat Sulawesi Selatan yang menjunjung tinggi integritas. Taro ada taro gau’ secara harfiah berarti “berpegang teguh pada apa yang telah diucapkan.” Nilai ini menunjukkan bahwa setiap kata yang terucap harus diikuti oleh tindakan nyata, sehingga kepercayaan diri dan kehormatan dapat terjaga.
Nilai taro ada taro gau’ relevan bagi generasi muda, khususnya Gen Z, yang sering dihadapkan pada tekanan modernisasi dan perubahan nilai. Dalam era media sosial dan digital, di mana ucapan mudah terucap tanpa makna, prinsip ini mengajarkan pentingnya konsistensi antara kata dan tindakan.
Bagi Gen Z Sulawesi Selatan, kutipan ini bisa menjadi motivasi untuk membuktikan diri sebagai pribadi yang bisa diandalkan. Tidak hanya dalam hal besar, seperti karier atau hubungan, tetapi juga dalam keseharian. Ketika mereka berani berkata, “Saya akan melakukannya,” itu berarti mereka akan bertanggung jawab hingga tuntas.
Kutipan-kutipan dari film-film ini tidak hanya menggambarkan kehidupan sehari-hari, tetapi juga menyampaikan nilai-nilai budaya Sulawesi Selatan yang relevan untuk kehidupan modern. Di awal tahun, kutipan-kutipan ini bisa menjadi motivasi untuk menjalani tahun baru dengan semangat menjaga kehormatan, tanggung jawab, dan solidaritas.
Sebagai refleksi, bagaimana nilai-nilai ini bisa dihidupkan dalam kehidupan kita? Film-film tersebut menjadi jendela yang menggugah kebanggaan akan budaya sekaligus inspirasi untuk terus melangkah dengan penuh harga diri. (fit/in)