back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
26.4 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

ChatGPT dan AI: Menggali Jejak Karbon di Balik Kecanggihan

Inspirasinusantara.id -- Di balik satu pertanyaan yang kita ketik ke ChatGPT, tersembunyi aliran listrik dan tetesan air yang bekerja diam-diam. Teknologi ini memang mengagumkan,...
BerandaBudayaPemmali: Kearifan Lokal Sulsel yang Mengajarkan Etika dan Kebijaksanaan Sejak Dini

Pemmali: Kearifan Lokal Sulsel yang Mengajarkan Etika dan Kebijaksanaan Sejak Dini

INSPIRASI NUSANTARA–Di tengah modernitas, warisan kearifan lokal Sulsel tetap menjadi penuntun moral generasi. Ungkapan seperti “Jangan bernyanyi di dapur” atau “Pantang bertopang dagu saat berjualan” bukan sekadar mitos masa lalu, melainkan cerminan nilai luhur yang masih relevan hingga kini.

Pemmali adalah ungkapan larangan dalam budaya Bugis yang diwariskan turun-temurun, dan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal Sulsel yang sarat makna. Lebih dari sekadar mitos atau tabu, pémmali merupakan cerminan nilai, etika, dan nasihat hidup yang dibungkus dalam simbol budaya lokal.

Melalui pemmali, yang merupakan bagian dari kearifan lokal Sulsel, masyarakat Bugis menanamkan nilai-nilai sopan santun, kedisiplinan, serta penghargaan terhadap norma-norma sosial.

Menurut Meinarno (2011) dilansir dari Tesis yang di tulis oleh Jumadi, kearifan lokal seperti pemmali lahir dari pemahaman mendalam masyarakat terhadap lingkungannya. Kearifan ini tidak hanya hidup di lisan, tapi juga tertanam dalam perilaku sehari-hari.

Pemmali Di Sulsel dan Makna Edukatif di Baliknya

1. “Riappémmalianggi anaq daraé makkélong ri dapurenngé narékko mannasui”

Pantang bagi gadis menyanyi saat memasak.

Makna: Bukan hanya mitos yang menyebutkan jodohnya akan jauh, tetapi secara higienis, menyanyi sambil memasak dapat menyebarkan ludah ke makanan. Nilai kesehatannya kuat, dibungkus dengan budaya.

2. “Pémmali léwu moppang ananaqé nasabaq magattii maté indoqna”

Pantang anak tidur tengkurap karena bisa mempercepat kematian ibunya.

Makna: Larangan ini mengajarkan anak untuk tidur dengan posisi sehat. Tidur tengkurap bisa menyebabkan gangguan pernapasan atau sakit perut. Selain itu, ini bagian dari pendidikan sopan santun dan kepedulian pada orang tua.

3. “Pemmali mattula bangi ri baluq-baluqè, labeqi pangelliè”

Pantang bertopang dagu di tempat berjualan karena bisa menjauhkan pembeli.

Makna: Peringatan untuk tidak bermalas-malasan saat bekerja. Bertopang dagu menggambarkan pedagang yang tidak sigap, sehingga pembeli bisa enggan datang kembali. Ini berkaitan langsung dengan etos kerja dan kesigapan dalam berdagang.

Pemmali sebagai Media Pendidikan Budaya

Dalam budaya Bugis, pemmali bukan hanya mitos tanpa dasar. Ia adalah bentuk pendidikan karakter. Larangan-larangan ini menanamkan nilai moral, membentuk kepribadian, dan memperkuat identitas budaya.

Dalam konteks pendidikan karakter hari ini, pemmali bisa menjadi pendekatan lokal yang efektif dan penuh makna. Oleh karena itu, pemmali harus tetap dilestarikan karena eberapa alasan berikut:

1. Mengandung Nilai Luhur: Mengajarkan kebersihan, sopan santun, etika kerja

2. Dekat dengan Budaya Lokal: Mudah dipahami karena berasal dari kehidupan sehari-hari.

3. Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi: Alternatif edukasi di era modern dengan pendekatan budaya.

Menjaga kearifan Lokal Sulsel Pemmali

Pemmali bukan cerita lama yang harus ditinggalkan, tapi kearifan lokal yang perlu ditransformasi sebagai bagian dari pendidikan karakter generasi muda. Dengan memahami nilai di balik setiap ungkapan, kita tak hanya menjaga tradisi, tapi juga memperkuat jati diri budaya Bugis di tengah perubahan zaman.

Kita mungkin tak lagi percaya bahwa pantangan bisa mendatangkan kutukan, tapi kita percaya bahwa budaya punya cara tersendiri untuk menjaga kita tetap waras dan beretika. (*/IN)

SUMBER: Jumadi. (2017). Nilai Kearifan Lokal dalam Ungkapan Pémmali Masyarakat Bugis Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan (Tesis, Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia). (Universitas Muhammadiyah Makassar).