back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
32 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Munafri Siap Benahi BUMD Usai Disorot DPRD 

MAKASSAR, inspirasinusantara.id — Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, berkomitmen untuk membenahi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) setelah menerima sejumlah catatan kritis dari fraksi-fraksi DPRD...
BerandaBudayaSawah Bukan Sekadar Lahan: Makna Filosofis Pertanian dalam Budaya Bugis

Sawah Bukan Sekadar Lahan: Makna Filosofis Pertanian dalam Budaya Bugis

INSPIRASI NUSANTARA — Dalam budaya Bugis, sawah bukan hanya sekadar bentang lahan basah tempat padi ditanam. Ia adalah ruang hidup, ruang spiritual, dan simbol ketekunan manusia terhadap alam.

Dalam budaya Bugis, pertanian khususnya persawahan memiliki kedalaman makna yang jauh melampaui nilai ekonomis. Sawah adalah tempat menanam harapan, menjaga warisan, dan merawat hubungan suci antara manusia dan bumi.

Salah satu prinsip yang dijunjung tinggi adalah pentingnya memilih hari yang tepat untuk memulai masa tanam. Bukan sekadar kepercayaan, melainkan bentuk penghormatan karena padi diyakini memiliki jiwa perwujudan dari Sangiang Serri, sang Dewi Padi dalam mitologi La Galigo.

Petuah dari lontara berbunyi:

“Rékko maéloko maéga asému karawa asemu pappadai anaq loloé. Taranakengna wisésaé pada téa risalai.”

(Jika engkau ingin panen melimpah, perlakukan padi seperti bayi. Kasih sayangmu akan membalas dengan hasil terbaik.)

Filosofi ini tak hanya hidup dalam naskah, tetapi juga dalam tradisi hidup seperti Mappadendang ritual pasca-panen yang rutin digelar masyarakat di Bacukiki, Kota Parepare. Dalam balutan busana adat Bugis, sekelompok pria dan wanita menumbuk padi muda dalam lesung, menciptakan irama khas sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil bumi.

Tradisi ini bukan sekadar seremoni, tetapi manifestasi rasa syukur dan penghormatan pada Sang Pencipta.

Makna Kerja Keras dan Etika Leluhur

Nilai kerja keras tercermin dari pepatah Bugis:

“Resopa natemmamingi, malomo naletei pammase dewata”

(Usaha yang sungguh-sungguh akan membawa rahmat dari Tuhan).

Pepatah ini bukan sekadar slogan motivasi, melainkan panduan hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam konteks pertanian, pepatah ini menyiratkan bahwa kerja keras di sawah bukan hanya demi panen, tetapi juga sebagai bentuk ibadah sebuah persembahan kepada kehidupan.

Dilansir dari Jurnal Pangadereng Kemendikbud, Orang Bugis juga percaya bahwa merawat sawah berarti merawat hubungan dengan leluhur. Ritual-ritual seperti mappadendang dilakukan dengan khidmat, memohon perlindungan roh penjaga alam dan memastikan harmoni tetap terjaga.

Pada momen ini, nilai musyawarah dan gotong royong pun mengemuka, saat seluruh komunitas bekerja bersama membersihkan saluran air atau membagi waktu tanam.

Menyemai Nilai, Menuai Makna

Pertanian dalam budaya Bugis adalah perwujudan dari filosofi hidup yang penuh rasa hormat terhadap alam dan leluhur. Sawah mengajarkan bahwa hasil terbaik datang dari kerja keras, ketulusan niat, dan kebersamaan.

Di tengah modernisasi, mempertahankan makna  dan filosofis dari pertanian Bugis ini menjadi bentuk menjaga kearifan lokal paling bijak. (*/IN)