INSPIRASI NUSANTARA– Tahun 2025 diprediksi menjadi titik balik bagi dunia kerja. Banyak perusahaan mulai menghapus sistem kerja hybrid dan kembali menerapkan kebijakan kerja penuh waktu di kantor.
Beberapa raksasa korporasi seperti Amazon, Dell Technologies, dan AT&T telah mengumumkan kebijakan baru yang mewajibkan karyawan untuk bekerja di kantor lima hari dalam seminggu. Langkah ini memicu diskusi luas tentang masa depan fleksibilitas kerja dan dampaknya pada produktivitas karyawan.
BACA JUGA: Tren Kerja Sampingan Marak di Indonesia, Apa Penyebabnya?
Chipotle Mexican Grill, misalnya, menerapkan kebijakan kerja empat hari di kantor, namun memperingatkan bahwa fleksibilitas pada hari Jumat dapat dicabut jika produktivitas menurun. Sementara itu, Starbucks tegas mengingatkan karyawannya akan risiko pemecatan jika tidak mematuhi kebijakan tiga hari kerja di kantor setiap minggu.
Pergeseran Global dan Dampaknya
Dilansir dari The Wall Street Journal, sepertiga perusahaan di Amerika Serikat kini telah kembali menerapkan kebijakan kerja penuh di kantor. Meskipun angka ini menurun 16% dibandingkan tahun lalu, tren kerja hybrid yang memungkinkan karyawan bekerja sebagian waktu dari rumah masih tetap mendominasi, diadopsi oleh 43% perusahaan.
Namun, perusahaan seperti Goldman Sachs dan Google mulai menarik karyawannya kembali ke kantor secara bertahap. Bahkan, 90% perusahaan global dilaporkan berencana menghapus kebijakan kerja hybrid sepenuhnya pada akhir 2024.
Fenomena di Asia Tenggara
Tren kerja di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, menunjukkan pola yang unik. Menurut Mickael Feige, perwakilan YCP Solidiance di Thailand, budaya kekeluargaan dan kebersamaan membuat banyak pekerja di kawasan ini rindu bekerja di kantor untuk merasakan interaksi sosial, seperti makan siang bersama rekan kerja.
Hal ini didukung oleh survei Microsoft yang mengungkap bahwa 78% pekerja di Asia Tenggara, meski masih khawatir dengan Covid-19, merindukan suasana kerja tatap muka. Di Indonesia, posisi kerja di kantor untuk tingkat pemula tercatat stabil di angka 75,3%, sementara pekerjaan hybrid berada di kisaran 24,7%.
Hybrid Masih Beri Dampak Positif
Meskipun tren kembali ke kantor mulai menguat, berbagai survei membuktikan manfaat positif dari kerja hybrid. Menurut riset Cisco, metode ini meningkatkan produktivitas karyawan hingga 56,4%, memperbaiki kesejahteraan 62,5% responden, dan meningkatkan hubungan keluarga bagi 92% pekerja. Survei Accenture juga menyatakan bahwa 85% pekerja hybrid merasa lebih bahagia dan termotivasi.
Namun, para pemimpin perusahaan tetap skeptis. Survei Korn Ferry terhadap 15.000 eksekutif global menemukan bahwa sebagian besar percaya budaya kerja yang kuat hanya bisa dibangun di lingkungan kantor. CEO global memprediksi pada 2026, karyawan akan kembali bekerja penuh waktu di kantor untuk mendukung produktivitas dan pengembangan budaya perusahaan.
Masa Depan Dunia Kerja
Meskipun sistem kerja hybrid terbukti efektif dalam beberapa hal, tantangan utama yang dihadapi adalah menjaga interaksi sosial dan melatih karyawan baru. Banyak eksekutif merasa bahwa interaksi langsung di kantor sangat penting untuk memperkuat budaya perusahaan dan meningkatkan kolaborasi.
Tahun 2025 akan menjadi tahun penentu arah kebijakan kerja global. Dengan semakin banyak perusahaan beralih kembali ke kantor, tantangan baru muncul untuk menciptakan keseimbangan antara fleksibilitas, produktivitas, dan kesejahteraan karyawan. Dunia kerja sedang bergerak menuju era baru, di mana gaya kerja hybrid mungkin hanya menjadi bagian dari sejarah. (*/IN)