Budaya  

Berpikir Itu Ada Caranya

Berpikir
SEJUK. Para peserta Bincang Budaya yang dilaksanakan Ikatan Mahasiswa Kajian Budaya (I’M KB) FIB-Unhas, di Rumah Hobbit, Gowa, 8-9 Februari 2025.

KABUT turun pelan-pelan di Rumah Hobbit Bolangi, Kabupaten Gowa, menyelimuti pepohonan dan tanah basah yang baru saja disiram hujan yang begitu lebat. Sore itu, Sabtu, 8 Februari 2025, aroma tanah bercampur dengan udara dingin membelai wajah para peserta yang datang satu per satu, membawa semangat untuk berbincang, bertukar pikiran, dan menyalakan api pemahaman.

Suhu dingin yang membelenggu para peserta tidak menghalangi semangat mereka untuk menghadiri Bincang Budaya, sebuah diskusi yang bertujuan membedah cara berpikir dalam menciptakan representasi. Acara digagas oleh Ikatan Mahasiswa Kajian Budaya (I’M KB) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin (Unhas) ini tidak hanya menjadi ruang akademik, tetapi juga ruang kekeluargaan yang dilaksanakan 8-9 Februari 2025.

Sebelum perjalanan menelusuri pikiran panjang dimulai, peserta berbaur dalam keakraban, membakar ikan yang didapat langsung dari nelayan Sungai Bili-bili. Bara menyala perlahan, seperti pemikiran yang sedang dihangatkan sebelum menyala terang dalam perbincangan panjang.

Di bawah langit yang kini gelap, dengan kabut yang sesekali turun, cahaya bulan kadang muncul meski tiba-tiba hujan, suara-suara mulai mengalun. Faisal, Kepala Program Studi Kajian Budaya FIB Unhas, membuka percakapan dengan mengingatkan bahwa budaya bukan sekadar jejak-jejak yang ditinggalkan manusia, tetapi medan yang terus bergerak, tempat gagasan dan makna diperebutkan.

Mengingat bahwa Bourdieu menyebutnya sebagai field, ladang sosial di mana kita menanam dan menuai pemahaman, saling bertarung dengan modal yang kita miliki, yakni pengetahuan, pengalaman, dan posisi dalam masyarakat. Dalam medan ini, berpikir tidak bisa sembarangan, sebab ada aturan yang tak terlihat, ada struktur yang membentuk cara kita memahami dunia.

Aslan Abidin dari Universitas Negeri Makassar (UNM) melanjutkan, menambahkan warna dalam percakapan. Budaya, katanya, bukan ruang yang netral, melainkan arena pertarungan.

Gramsci menuliskan, hegemoni bekerja dengan cara yang halus, melalui pendidikan, media, dan kebiasaan yang tampak wajar.

“Kita tanpa sadar menerima dominasi, mengikuti arus yang telah diarahkan. Namun, di dalamnya selalu ada celah, selalu ada perlawanan yang mencoba mengubah arus. Cara kita berpikir, cara kita memahami, bisa menjadi bagian dari perlawanan itu. Kepekaan atas kondisi sehari-hari yang perlu dikuatkan,” tegas Aslan.

Lalu, suara lain datang dari Syamsurijal dosen Universitas Mulawarman, yang mengingatkan bahwa gagasan yang hanya berputar di kepala tak akan pernah menemukan bentuknya yang utuh. Menulis, katanya, adalah cara untuk berpikir dengan lebih jernih, lebih tajam.

“Tak perlu berbelit-belit, tak perlu mencoba terdengar rumit. Tulislah dengan bahasa yang mengalir, seperti bertutur, seperti bercerita. Sebab gagasan yang baik bukan hanya yang cerdas, tetapi juga yang bisa dipahami,” ucapnya.

Ilham Wasi, yang sehari-hari berkecimpung dalam dunia media, menegaskan bahwa ruang bagi pemikiran kritis masih ada. Di tengah derasnya arus informasi, di antara berita-berita yang berlalu seperti angin, selalu ada tempat bagi tulisan yang menggugah, yang membuat orang berhenti sejenak dan berpikir.

“Tantangannya bukan hanya menemukan ide, tetapi juga menyampaikannya dengan cara yang bisa menembus batas-batas pembaca,” kata Redaktur Politik Harian FAJAR itu.

Malam pun makin larut, suhu dingin terus terasa, namun otak yang terus berpikir membuat jantung dan pembuluh darah tetap bekerja dengan normal . Percakapan terus mengalir, seperti sungai yang tak terbendung, membawa pemikiran-pemikiran ke arah yang tak terduga. Dari Kalimantan, dari Sulawesi Barat ikut dalam forum dari berbagai penjuru itu, suara-suara bertemu dalam satu ruang, satu perbincangan yang berjalan hikmat. Sebuah kesadaran perlahan tumbuh: berpikir memang ada caranya, dan cara itu selalu bisa didiskusikan, diperdebatkan, dan yang terpenting dituliskan.

Kopi hangat dituangkan ke dalam cangkir-cangkir yang kosong, sementara pikiran terus menyala. Suasana berubah lebih intim; topik percakapan meluas, dari persoalan representasi hingga pertanyaan tentang bagaimana budaya bekerja dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa mulai berbagi pengalaman, tentang bagaimana mereka melihat hegemoni beroperasi dalam keluarga, dalam ruang akademik, dalam praktik budaya yang tak pernah benar-benar netral.

Sebagian peserta memilih duduk lebih dekat ke perapian, mencari kehangatan sambil terus menyimak. Malam terus berjalan, tetapi tidak ada yang terburu-buru untuk tidur. Bagi mereka, momen ini terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. Hingga larut malam, percakapan masih terdengar, meski perlahan mulai melembut. Skira pukul 22.00 Wita, diskusi pun diistirahatkan, tetapi api di dalam benak peserta tetap menyala.

Pagi datang dengan sinar yang malu-malu menembus kabut, Minggu, 9 Februari 2025. Hujan semalam yang sesekali turun masih tertinggal di luar penginapan, tetapi semangat untuk melanjutkan diskusi tidak surut. Setelah sarapan sederhana, percakapan kembali dimulai. Kali ini, fokus bergeser pada relasi kuasa dalam budaya, bagaimana kekuasaan tidak hanya dimanifestasikan dalam institusi politik atau ekonomi, tetapi juga dalam bahasa, dalam praktik sosial yang tampak sepele. Pemantik diskusi Aslan Abidin.

Seseorang mengangkat isu tentang bagaimana narasi sejarah dan agama sering kali dikendalikan oleh mereka yang berkuasa. Siapa yang menulis sejarah? Siapa yang menentukan mana yang layak diingat dan mana yang dilupakan? Dalam dunia yang terus bergerak cepat, bagaimana kita bisa melawan narasi dominan yang sering kali mengabaikan suara-suara marginal?

Diskusi berlanjut, menyinggung tentang identitas, gender, dan bagaimana budaya bisa menjadi alat sekaligus medan perlawanan. Seorang peserta mengangkat pertanyaan tentang bagaimana budaya lokal di wilyahnya menghadapi arus globalisasi. Apakah budaya lokal harus bertahan dengan bentuknya yang lama, ataukah ia harus bertransformasi agar tetap relevan?

Pertanyaan demi pertanyaan mengalir, menciptakan percakapan yang nyaris tak berujung. Namun, setiap diskusi selalu punya akhirnya, dan menjelang siang, peserta mulai bersiap untuk kembali. Kabut perlahan menipis, menyisakan jejak yang samar di udara. Peserta datang dengan pikiran yang penuh tanda tanya, dan pulang dengan kepala yang lebih berat oleh gagasan-gagasan baru. Namun, beban itu bukan beban yang melelahkan, melainkan yang justru membakar semangat. Sebab mereka tahu, berpikir memang ada caranya dan cara itu tidak berhenti di sini. Ia akan terus berjalan, dalam percakapan lain, dalam tulisan-tulisan yang akan mereka ciptakan, dalam cara mereka melihat dan memahami dunia. (*)

Penulis: Farisal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *