back to top
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

InspirasiNusantara.id “MENGEDUKASI, MENGINSPIRASI, MENGGERAKKAN”
30 C
Jakarta
Rp0

Tidak ada produk di keranjang.

Jadilah Member Kami

Dapatkan konten Eksklusif yang menarik

― Advertisement ―

spot_img

Tempat Wisata Ladang Sulsel: Menyapa Alam, Menghargai Petani 

inspirasinusantara.id -- Liburan tak lagi sekadar soal destinasi populer atau bangunan megah, kini ladang-ladang pangan pun berubah menjadi tempat wisata yang memanjakan mata dan...
BerandaGaya HidupKrisis Iklim Kini Mengendap di Setiap Tegukan Minuman 

Krisis Iklim Kini Mengendap di Setiap Tegukan Minuman 

inspirasinusantara.id — Krisis iklim tak lagi sekadar badai besar atau suhu ekstrem—ia kini hadir dalam wujud tak terlihat di balik kemasan minuman favorit Anda.

Sebuah studi terbaru yang dirilis Badan Keamanan Pangan Prancis (ANSES) mengungkap temuan mencengangkan: minuman dalam botol kaca justru mengandung lebih banyak mikroplastik dibandingkan botol plastik atau kaleng logam.

Studi yang dipublikasikan dalam Journal of Food Composition and Analysis itu menjadi bukti bahwa dalam bayang-bayang krisis iklim, jejak pencemaran plastik telah meresap hingga ke detail paling kecil dari kehidupan manusia—termasuk pada tutup botol minuman. Peneliti menemukan rata-rata 100 partikel mikroplastik per liter dalam minuman ringan, limun, teh dingin, dan bir yang dikemas dalam botol kaca.

Jumlah ini lima hingga 50 kali lipat lebih tinggi dibandingkan kandungan mikroplastik pada botol plastik dan kaleng.

“Kami awalnya memperkirakan botol plastik yang lebih tercemar. Ternyata justru botol kaca yang lebih banyak menyumbang partikel mikroplastik,” ujar Iseline Chaib, mahasiswa doktoral yang memimpin studi ini, seperti dikutip dari AFP.

Cat Tutup Botol Jadi Tersangka Utama

Riset ini mengungkap bahwa sumber utama kontaminasi mikroplastik bukan berasal dari cairan atau isi minuman, melainkan dari cat pada bagian luar tutup botol kaca. Bentuk, warna, dan jenis polimer yang ditemukan identik dengan lapisan cat tersebut.

Baca juga : Kemarau Semakin Dekat, Begini Cara Cegah Krisis Iklim!

Goresan mikroskopik akibat gesekan saat penyimpanan diyakini menyebabkan partikel halus ini larut ke dalam minuman. Direktur Riset ANSES, Guillaume Duflos, mengatakan bahwa perbedaan tingkat mikroplastik antarjenis minuman dan kemasan masih menjadi misteri.

Namun satu hal yang pasti: dalam pusaran krisis iklim yang memperparah pencemaran global, jejak plastik kini tak hanya mengotori lautan, tapi juga ikut masuk ke tubuh manusia. Air minum, baik biasa maupun berkarbonasi, tercatat sebagai jenis minuman dengan kandungan mikroplastik terendah, yaitu 1,6 hingga 4,5 partikel per liter.

Sedangkan minuman lain seperti anggur, bir, dan soda menunjukkan kadar lebih tinggi, dengan bir mencapai 60 partikel mikroplastik per liter.

Krisis Iklim Tak Kasatmata: Mikroplastik dan Peradaban Sekali Pakai

Meski belum ada standar resmi tentang batas aman mikroplastik dalam tubuh manusia, para ilmuwan mengingatkan bahwa akumulasi partikel mikro ini merupakan bagian dari jejak peradaban sekali pakai yang kian membebani bumi di tengah krisis iklim yang terus berlangsung.

Mikroplastik telah ditemukan dalam air laut, udara, tanah, dan kini—di dalam tubuh manusia. “Kami belum bisa memastikan dampaknya secara langsung terhadap kesehatan, tapi kami tahu bahwa paparan ini terus meningkat,” ungkap Duflos.

Dalam konteks krisis iklim, studi ini menyoroti pentingnya memahami bahwa masalah lingkungan tidak selalu datang dalam bentuk bencana besar. Kadang ia hadir sebagai partikel mikroskopis yang tak terlihat, namun terus kita konsumsi setiap hari.

Solusi Sementara dan Seruan untuk Industri

Sebagai langkah awal, ANSES menguji metode sederhana untuk menurunkan jumlah partikel mikroplastik. Cukup dengan meniup udara ke tutup botol lalu membilasnya dengan air dan alkohol, tingkat kontaminasi bisa berkurang hingga 60 persen.

Ini menunjukkan bahwa produsen minuman dapat memainkan peran penting dalam mengurangi risiko. Namun lebih dari itu, studi ini menjadi panggilan darurat untuk meninjau ulang sistem produksi dan konsumsi kita secara global.

Kita tak hanya butuh teknologi bersih, tapi juga kesadaran kolektif untuk mengurangi polusi mikroplastik sebelum dampaknya menjadi tak terkendali. (*/IN)