IN, MAKASSAR — Puluhan massa yang mengatasnamakan Gerakan Aktivitas Muda Indonesia (GAMASI), melakukan aksi unjuk rasa di depan Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Jl Kartini, Makassar, Kamis (16/11/2023).
Demo yang dilakukan massa Gamasi tersebut, terkait indikasi tidak adanya keadilan hakim usai menerima eksepsi terdakwa Elly Gwandy dalam perkara dugaan kasus pengancaman dan pemerasan terhadap Lily Montolalu.
Koordinator Lapangan aksi, Lin dalam pernyataan sikapnya mengatakan, Ketua Majelis Hakim Ni Putu Sri Indayani dalam amar putusannya mengatakan perkara tersebut sudah daluarsa. Padahal laporan korban tersebut diterima kepolisian hingga tahap dua di Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kata Lin, usai terima eksepsi terdakwa atas dugaan pemerasan dan pengancaman terhadap Lily Montolalu, terdakwa dugaan kasus pengancaman dan pemerasan, memang dipertanyakan korban.
“Korban dari awal memang pertanyakan. Karena sepengetahuannya, status penahanan terdakwa adalah tahanan rumah. Akan tetapi, ada dugaan bahwa terdakwa sering keluar rumah, ” ucap Lin dalam orasinya.
Hal ini lanjut Lin, terlihat dari video yang beredar dengan memperlihatkan bahwa terdakwa menyambangi rumah salah satu temannya untuk mengucapkan selamat ulang tahun.
“Padahal status tahanan terdakwa saat itu adalah tahanan hakim. Disitu memang ada kecurigaan, ” lanjutnya.
Lin juga menjelaskan, pada persidangan dakwaan, terdakwa Elly Gwandy dijerat dengan pasal berlapis. Yakni melakukan tindak pidana sesuai dengan pasal 365 ayat 1 KUHP. Ancaman pidana penjaranya selama 9 tahun.
“Tak hanya itu, Terdakwa Elly Gwandy juga dijerat oleh JPU Cabjari Makassar dengan pasal 368 ayat 1 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Ancaman pidananya maksimal 12 tahun, ” jelasnya saat menyampaikan aspirasinya.
Di tempat yang sama, Jenderal Lapangan GAMASI, Saddam Husein dalam orasinya mengatakan, pengadilan adalah tempat mengungkapkan kebenaran bukan tempat menghentikan kebenaran, juga bukan tempat mengkerdilkan penegakan hukum.
Jelas Saddam, sangat ironis sebuah kasus pidana yang menjalani proses penyelidikan, penyidikan hingga disidangkan di pengadilan negeri ini, lalu kemudian majelis hakim memvonis bebas perkara tersebut.
“Ini sebuah pelecehan penegakan supremasi hukum. Bahkan penyidik kepolisian dan kejaksaan dilecehkan dengan putusan tersebut, karena dianggap sudah daluarsa, ” jelas Saddam.
“Kami yakin dan percaya penyidik kepolisian dan JPU, tidak mungkin keliru memproses perkara pidana ini hingga tahap 2 kalau dianggap sudah daluarsa, ” teriak Saddam.
Diketahui, kasus ini terjadi tahun 2019 lalu. Berawal saat tersangka Elly Gwandy bersama satu orang teman laki-lakinya berinisial JS mengajak korban untuk pergi makan. Ternyata korban bukannya diajak makan, malah dibawa ke sebuah hotel.
Di situlah terjadi dugaan pengancaman dan pemerasan yang dilakukan Elly Gwandy dan JS.
Korban dimasukkan ke dalam kamar lalu dilakukanlah pengancaman dan pemerasan yang dimaksud dengan cara-cara mengintervensi agar korban menandatangani kwitansi yang diajukan dengan nilai Rp800 juta.
Saat itu, berbagai macam perhiasan yang ia kenakan juga dirampas. Saat itu korban diancam ingin dibunuh, karena di situ pelaku katakan kalau korban tidak tanda tangan, besok dia tidak lagi bisa melihat anak-cucunya. (fai/IN)