Pergulatan Identitas hingga Pertarungan Hegemoni
Penulis: Agus Salim AW, Mahasiswa Kajian Budaya, Universitas Hasanuddin
“Saya Orang Pangkep (SOP), Saudara”, demikianlah kepanjangan yang bersifat diskursif untuk menjelaskan asal usul kata “Sop Saudara”. Sop Saudara, bagi masyarakat Sulsel dan masyarakat kota Makassar pada khususnya, adalah lebih dari sekadar hidangan berkuah dan santapan yang lezat. Di balik kuah beningnya yang kaya rempah dan daging sapi yang lembut, tersimpan histori-kultural kuliner dan narasi diskursif yang panjang tentang konstruksi selera, pergulatan identitas, dan pertarungan hegemoni yang melibatkan beragam aktor dengan kepentingan berbeda. Dari penamaan, perubahan menu, hingga persaingan bisnis, Sop Saudara menjadi refleksi dinamika sosial, kultural, dan ekonomi politik yang kompleks. Hegemoni, sebagaimana yang diteorisasikan oleh Antonio Gramsci (1980), menjadi ranah pertarungan (ideologis) yang bukan melalui koersi(paksaan) melainkan melalui persetujuan (consentual).
Melanjutkan pandangan Gramsci, Stuart Hall (1990) menegaskan bahwa (ruang) budaya merupakan arena dimana hegemoni diperjuangkan dan dimenangkan. Dalam konteks Sop Saudara, dapat terpahamkan kemudian bahwa keberadaan Sop Saudara tidak hanya menjadi hidangan lezat semata, tetapi tersimpan narasi dan diskursus, yang menjadi ruang pertarungan identitas kultural dan hegemoni yang kompleks, melibatkan relasi-relasi kuasa dan kepentingan di dalamnya. Tulisan ini ingin menerka secara kritis narasi dan diskursus yang berada dibalik tradisi kuliner Sop Saudara.
Pergulatan Identitas: dari Coto Paraikatte hinggaIkan Bolu
Nama Sop Saudara terinspirasi dari Coto Paraikatte, yang dalambahasa Makassar berarti “sesama kita” atau “bersaudara”. Meskipun bukan turunan langsung dari Coto Paraikatte, namun nama ini mencerminkan upaya untuk menciptakan identitas baru yang lebih inklusif dan mudah diterima oleh masyarakat luas.
Menurut Stuart Hall dalam Identity and Cultural Diaspora(1999), identitas bukanlah sesuatu yang tetap dan esensial, melainkan sesuatu yang cair, dinamis, dan terus-menerus, yang dibentuk di dalam dan melalui proses diskursif. Awalnya, Sop Saudara hanya dikenal sebagai hidangan lokal familia yang sederhana, namun seiring popularitasnya yang semakin meningkat, maka berubah menjadi brandkuliner yang ramai dikomersialkan (komodifikasi).
Proses komodifikasi ini semakin kompleks dengan adanya pengaruh globalisasi dan modernisasi yang membawa hibrida si kuliner dalam Sop Saudara. Beberapa warung Sop Saudara lagi menawarkan varian modern dengan tambahan makanan pendamping seperti ikan Bolu Bakar (ikan Bandeng), perkedel kentang, dan varian minuman modern. Perihal perubahan ini, menunjukkan bagaimana Sop Saudara tidak lagi membawa identitas murni sebagai budaya lokal tradisional yang familia, tetapi telah bersinggungan dengan budaya global yang modern. Pergulatan identitas lokal ke global, tradisional ke modern, memperlihatkan bagaimana Sop Saudara terus menerus mengalami proses perkembangan yang membawa beragamimplikasi dan dinamika sosial, kultural, dan ekonomi politik di dalamnya.
Pertanyaan kritisnya kemudian adalah siapakah yang diuntungkan dalam pergulatan identitas tersebut? Apakah perubahan akibat komodifikasi dan hibridasi telah mengikis “nilai-nilai” kultural Sop Saudara?
Pertarungan Hegemoni: dari Pengusaha dan Asosiasi hingga Pemerintah
Dalam dinamika pergulatan identitasnya sebagai sebuah produk kultural dan sekaligus ekonomis yang telah menasional (dan mungkin mengglobal), keberadaan Sop Saudara tentu saja taklepas dari tarik ulur relasi-relasi kuasa yang ingin memperoleh dan memenangkan hegemoni atas legitimasi Sop Saudara. Hegemoni, bagi Gramsci, adalah proses dimana kelas penguasa yang dominan mencoba mempertahankan dominasinya, tidak melulu melalui paksaan, tetapi melalui kontrol atas budaya dan ideologi. Hegemoni adalah menyangkut strategi dan taktik intelektual dan moral untuk kepentingan (legitmasi) penguasaan(kepemimpinan).
Pertarungan hemoni di antara para pelaku usaha Sop Saudara semakin memanas dengan munculnya varian-varian baru yang menawarkan harga lebih murah. Salah satu contohnya adalah keberadaan Sop Saudara Assauna di kota Makassar, yang menawarkan harga Rp 6.000 hingga Rp 8.000 per porsi (mangkuk). Harga yang relatif terjangkau ini menarik minat konsumen, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Namun, persaingan harga ini juga memicu ketimpangan ekonomi, yang mana pelaku usaha kecil seringkali kalah bersaing dengan usaha besar yang memiliki modal yang lebih kuat.
Asosiasi Pengusaha Sop Saudara (APSOS) kemudian dibentuk untuk memayungi kepentingan para pelaku usaha. Akan tetapi, asosiasi ini seringkali dihadapkan pada konflik internal antara kepentingan pengusaha di kota Makassar dan kabupatenPangkep. APSOS berusaha menciptakan konsensus (kesepakatan) dan norma-norma baru dalam industri Sop Saudara, namun upaya ini seringkali terhambat oleh tarik-ulur kepentingan antara pelaku usaha di dua wilayah tersebut.
Pemerintah kota Makassar dan kabupaten Pangkep terlibatdalam pertarungan hegemoni atas “klaim” Sop Saudara. Kota Makassar mempromosikan dan mewacanakan Sop Saudarasebagai bagian dari jargon dan slogan “Kota Makan Enak” di Makassar, sementara kabupaten Pangkep mengklaim hidanganini sebagai warisan budaya tak benda (intangible) mereka dan menggelar Festival Sop Saudara secara reguler untukmemperkuat klaim tersebut dan melaukan counter-hegemonyatas atas klaim kota Makassar. Pertarungan ini tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga dibalut atas dasar kepentingan ekonomi, seperti peningkatan pendapatan daerah dan daya tarik wisata.
Globalisasi membawa dampak signifikan terhadap kulinertradisional, termasuk Sop Saudara. Salah satu efeknya adalahkomodifikasi, yaitu proses dimana hidangan (barang) ini diubahmenjadi komoditas yang diperjualbelikan secara massal. Proses ini seringkali mengorbankan nilai-nilai kultural, lokalitas, dan “autensitas” suatu produk. Misalnya, untuk menekan biaya produksi, beberapa warung menggunakan bahan baku yang lebih murah atau instan, sehingga mengurangi kualitas dan cita rasa asli Sop Saudara.
Menilik dari kasus Sop Saudara, tampak bahwa Sop Saudara bukan sekadar hidangan belaka, ia merupakan produk (kultural) dari perjuangan identitas dan relasi-relasi kuasa yang saling “berperang berposisi” untuk memperoleh persetujuan dan hegemoninya masing-masing. Gambaran analisis hegemoni Gramsci dan pergulatan identitas dari Hall memperlihatkan bagaimana budaya senantiasa berada dalam arena tarik ulur diskursif dimana identitas budaya (dapat) dinegosiasikan, dimenangkan, bahkan diresistensi. (*)