INSPIRASI NUSANTARA–Di balik ketegasan orang tua Sulawesi Selatan, terutama dalam budaya Bugis, tersimpan bahasa kasih yang jarang disadari. Bagi mereka, mendidik anak bukan hanya tanggung jawab, tetapi juga warisan cinta yang harus ditanamkan dengan disiplin dan keteladanan.
Sulawesi Selatan dikenal dengan nilai budaya yang kuat, termasuk dalam pola pengasuhan anak. Bagi masyarakat Bugis, mendidik anak bukan sekadar tanggung jawab, tetapi juga bentuk cinta yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Di balik ketegasan orang tua dalam mendidik anak, terselip bahasa kasih yang bertujuan membentuk karakter anak agar menjadi pribadi yang kuat dan sukses.
Bagi masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, mendidik anak bukan sekadar kewajiban, tetapi juga bentuk cinta yang diwariskan turun-temurun. Ketegasan orang tua dalam pola pengasuhan bukanlah sekadar aturan kaku, melainkan bahasa kasih yang bertujuan membentuk karakter anak agar tumbuh menjadi pribadi kuat, berilmu, dan tangguh menghadapi tantangan hidup.
Anak Ideal dalam Pandangan Budaya Bugis
Dilansir dari Tesis Doktor, UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA, dalam tradisi Bugis, orang tua memiliki harapan besar terhadap anak-anaknya. Mereka ingin anak-anaknya menjadi topanrita (cendekiawan agama), toacca (cendekiawan umum), tosugi (orang kaya), towarani (orang berani), dan panggalung napaddarek (petani sawah dan kebun).
Harapan ini mencerminkan nilai-nilai penting dalam kehidupan masyarakat Bugis yaitu keilmuan, keberanian, kesejahteraan, dan ketangguhan.
Pola pengasuhan yang diterapkan pun beragam, mulai dari resopa temmangingngi, namalomo naletei pamase dewata, yang menekankan bahwa kesabaran dalam mengasuh anak akan membawa berkah, hingga wija lawo mubbakko, wija batu tellekko, yang menanamkan kerja keras dan kemandirian sejak dini.
Kasih Sayang di Balik Ketegasan
Orang tua Bugis dikenal memiliki gaya pengasuhan yang cenderung tegas, bahkan dalam beberapa aspek bisa dikatakan otoriter. Namun, ketegasan ini bukanlah bentuk kekerasan, melainkan cara untuk mendidik anak agar siap menghadapi kehidupan yang penuh tantangan.
Pola pengasuhan ini dilakukan melalui abiasang (kebiasaan), paseng (pesan-pesan), pangaja (nasihat), dan gaukeng (perbuatan serta keteladanan). Dengan cara ini, nilai-nilai kehidupan ditanamkan tidak hanya melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan nyata yang dicontohkan oleh orang tua.
Generasi Baru dan Dinamika Pengasuhan
Seiring perkembangan zaman, generasi muda Sulawesi Selatan mulai mengalami pergeseran dalam pola pikir dan gaya hidup. Jika generasi sebelumnya cenderung religius dan patuh pada nilai-nilai budaya, generasi saat ini lebih terbuka terhadap modernisasi.
Namun, perubahan ini tidak serta-merta menghilangkan esensi kasih sayang dalam pengasuhan. Justru, banyak orang tua mulai menyesuaikan pola asuh mereka dengan pendekatan yang lebih demokratis tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya dan agama.
Di balik ketegasan orang tua Sulawesi Selatan, tersimpan bahasa kasih yang tulus. Setiap aturan, setiap teguran, dan bahkan setiap batasan yang diberikan adalah bentuk cinta yang bertujuan membentuk karakter anak agar siap menghadapi kehidupan.
Perubahan zaman memang tak terhindarkan, tetapi nilai-nilai luhur Bugis tetap menjadi fondasi dalam mendidik generasi penerus. Dengan keseimbangan antara ketegasan dan kasih sayang, generasi muda Sulawesi Selatan diharapkan tetap tumbuh menjadi pribadi yang kuat, berilmu, dan tetap menghormati akar budayanya. (fit/in)
SUMBER :
H.NASIR BAKI (2006), POLA PENGASUHAN ANAK DALAM KELUARGA BUGIS (STUDI TENTANG PERUBAHAN SOSIAL DALAM KELUARGA BUGIS RAPPANG DI SULAWESI SELATAN), UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA,