INSPIRASI NUSANTARA — Setiap 11 April, dunia memperingati Hari Mengakhiri Pelecehan Seksual Anak, momen penting untuk memperkuat kesadaran kolektif akan pentingnya perlindungan anak terutama di ruang digital yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Di era digital yang kian mendominasi keseharian, anak-anak tak hanya menggunakan internet untuk belajar, tapi juga bermain dan bersosialisasi. Namun, kemudahan ini datang dengan risiko yang tak bisa diabaikan: pelecehan seksual, perundungan siber, serta akses pada konten berbahaya.
Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 11.686 kasus kekerasan seksual sepanjang 2022. Ironisnya, banyak dari korban adalah anak-anak.
Lonjakan ini turut didorong oleh lemahnya pengawasan digital yang efektif di lingkungan keluarga. Di tengah situasi ini, pendekatan pengawasan orang tua terhadap aktivitas digital anak menjadi sorotan.
Pendekatan Holistik untuk Mencegah Pelecehan Seksual
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan lima langkah penting dalam mencegah Pelecehan seksual terhadap anak:
1. Pendidikan Individu: Mengedukasi anak sejak dini tentang seksualitas dan hak atas tubuh mereka.
2. Pembelajaran Anak Usia Dini: Mengenalkan batasan tubuh pribadi dan pentingnya melapor jika mengalami pelecehan.
3. Gerakan Komunitas: Membangun kampanye anti-kekerasan seksual yang melibatkan tokoh masyarakat, agama, dan pemuda.
4. Peran Tenaga Kesehatan: Melatih petugas medis untuk mendeteksi dan menangani kasus pelecehan secara cepat dan sensitif.
5. Kebijakan dan Hukum: Memastikan korban memperoleh perlindungan hukum dan pelaku dihukum secara adil.
Literasi Digital Jadi Kunci
Alih-alih melarang anak bersentuhan dengan teknologi, orang tua diajak untuk mendampingi dan membimbing anak menjelajah dunia digital dengan aman dan bijak.
Memperingati Hari Mengakhiri Pelecehan Seksual Anak, mari jadikan rumah sebagai ruang aman bagi tumbuh kembang anak, baik di dunia nyata maupun digital.
Dengan pendekatan yang empatik dan dialog terbuka, pengawasan bisa menjadi bentuk cinta, bukan intimidasi. Anak merasa terlindungi, dan orang tua pun lebih tenang. (int/fik/IN)