INSPIRASI NUSANTARA– Pecinta makanan vegan bisa memilih olahan dengan sentuhan tradisional Sulawesi Selatan. Dengan kekayaan pangannya, Sulawesi Selatan memberi cita rasa yang khas pada menu veganmu.
Sulawesi Selatan memiliki kekayaan kuliner khas yang memikat hati para pencinta makanan. Salah satu kuliner unik yang perlu mendapat sorotan lebih adalah lawa’.
BACA JUGA : 1 November Hari Vegan Sedunia, Hidangkan Sajian Khas Indonesia Ini
Lawa’ tidak hanya soal ikan. Di beberapa daerah di Sulawesi Selatan, hidangan ini memiliki variasi yang menggunakan bahan vegan, seperti sayuran pakis (lawa’ paku) atau jantung pisang. Inovasi ini menjadikan lawa’ sebagai makanan ramah lingkungan sekaligus sehat.
Transformasi Lawa’ Menjadi Makanan Vegan
Masyarakat Luwu, Sengkang, hingga Sinjai memiliki tradisi membuat lawa’ yang berbeda-beda. Salah satu versi vegan yang populer adalah lawa’ paku. Pakis muda digunakan sebagai bahan utama, dipadukan dengan kelapa sangrai dan air jeruk nipis. Alternatif lainnya adalah lawa’ dari jantung pisang, yang kadang disiram air panas sebelum dicampur kelapa dan rempah sederhana.
Selain itu, untuk menciptakan rasa yang lebih kaya, beberapa daerah menambahkan tumbukan kacang sangrai sebagai pengganti kelapa. Namun, variasi ini sering kali disebut pacco’ daripada lawa’.
Keunikan Proses Pengolahan
Nama lawa’ sendiri berasal dari bahasa Bugis, yang berarti “dicampur aduk.” Proses pengolahan lawa’ sederhana namun penuh perhatian terhadap detail. Semua bahan dicampur tanpa dimasak dengan api, menjaga kandungan gizi alaminya tetap utuh. Kelapa yang disangrai tidak hanya berfungsi sebagai penyedap rasa, tetapi juga membantu menetralisir rasa asam dan menciptakan aroma khas.
Di beberapa daerah, lawa’ disajikan dengan pendamping khas seperti dange, lembaran sagu kering bertekstur kasar yang menjadi pengganti nasi. Kombinasi lawa’ dengan dange menjadikannya hidangan yang lengkap secara gizi.
Mengangkat Tradisi Lokal ke Kancah Modern
Lawa’ memiliki keunggulan unik, yaitu bahan-bahannya sederhana, terjangkau, dan melimpah di lingkungan sekitar. Ini mencerminkan kearifan lokal masyarakat Bugis yang memanfaatkan sumber daya alam secara bijak.
Transformasi lawa’ menjadi hidangan vegan juga menunjukkan potensi kuliner tradisional untuk berkembang sesuai kebutuhan zaman. Tidak hanya ramah terhadap lingkungan, inovasi ini membuka pintu bagi lebih banyak orang untuk menikmati kekayaan rasa khas Sulawesi Selatan tanpa harus mengonsumsi ikan.
Makanan Lokal yang Bergizi dan Berkelanjutan
Bagi masyarakat Bugis, lawa’ bukan sekadar makanan. Ini adalah simbol hubungan harmonis dengan alam. Dalam setiap suapan lawa’, terkandung cerita tentang akses terhadap sumber daya lokal yang melimpah, kemampuan mengolah makanan dengan sederhana, dan semangat menjaga tradisi.
Di tengah tren makanan cepat saji yang seringkali minim gizi, lawa’ hadir sebagai pengingat bahwa makanan sehat tidak harus mahal atau rumit. Dengan mempromosikan lawa’, baik versi tradisional maupun vegan, kita tidak hanya melestarikan warisan budaya tetapi juga mendukung pola makan berkelanjutan yang ramah lingkungan.
Jika Anda penasaran dengan cita rasa unik lawa’, cobalah mencicipinya di Sulawesi Selatan atau buat sendiri dengan bahan-bahan sederhana di rumah. Siapa tahu, Anda akan jatuh cinta pada sajian tradisional yang sederhana namun memikat ini. (*/IN)